Pernikahan dalam Islam



A.    PERKAWINAN DALAM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN
1.      Pengertian Perkawinan
Pernikahan berasal dari bahasa arab “nakaha” yang berarti “mengumpulkan”. Nikah menurut arti asli ialah hubungan seksual. Nikah berarti menghalalkan pergaulan antara seorang  laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dan menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya. Dalam pengertian yang luas, pernikahan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara dua orang, yaitu laki-laki dan perempuan, untuk hidup bersama dalam satu rumah tangga dan untuk mendapatkan keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan syariat islam.[1] Allah berfirman dalam surat an-Nisa’ ayat 3:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا (٣)

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An Nisa: 3)

2.      Hukum Perkawinan
Jumhur ulama menetapkan hukum menikah menjadi lima yaitu :[2]
a.       Mubah
Hukum asal pernikahan adalah mubah. Hukum ini berlaku bagi seseorang yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan nikah atau mengharamkannya.
b.      Sunnah
Hukum ini berlaku bagi seseorang yang memiliki bekal untuk hidup berkeluarga, mampu secara jasmani dan rohani untuk menyongsong kehidupan berumah tangga dan dirinya tidak khawatir terjerumus dalam praktik perzinaan atau muqaddimahnya (hubungan lawan jenis dalam bentuk apapun yang tidak sampai pada praktik perzinaan).


c.       Wajib
Hukum ini berlaku bagi siapapun yang telah mencapai kedewasaan jasmani dan rohani, memiliki bekal untuk menafkahi istri, dan khawatir dirinya akan terjerumus dalam perbuatan keji zina jika hasrat kuatnya untuk menikah tak diwujudkan
d.      Makruh
Hukum ini berlaku bagi seseorang yang belum mempunyai bekal untuk menafkahi keluarganya, walaupun dirinya telah siap secara fisik untuk menyongsong kehidupan berumah tangga, dan ia tidak khawatir terjerumus dalam praktik perzinaan hingga datang waktu yang paling tepat untuknya. Untuk seseorang yang mana nikah menjadi makruh untuknya, disarankan memperbanyak puasa guna meredam gejolak syahwatnya. Kala dirinya telah memiliki bekal untuk menafkahi keluarga, ia diperintahkan untuk bersegera menikah.
e.       Haram
Hukum ini berlaku bagi seseorang yang menikah dengan tujuan menyakiti istrinya, mempermainkannya serta memeras hartanya.
3.      Macam-macam Perkawinan Terlarang
a.       Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah ialah nikah yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan melampiaskan hawa nafsu dan bersenang-senang untuk sementara waktu. Nikah mut’ah pernah diperbolehkan oleh Nabi Muhammad Saw. akan tetapi pada perkembangan selanjutnya beliau melarangnya selama-lamanya.[3]
b.      Nikah Syighar (kawin tukar)
Yang dimaksud dengan nikah syighar adalah seorang perempuan yang dinikahkan walinya dengan laki-laki lain tanpa mahar, dengan perjanjian bahwa laki-laki itu akan menikahkan wali perempuan tersebut dengan wanita yang berada di bawah perwaliannya.
c.       Nikah Tahlil
Gambaran nikah tahlil adalah seorang suami yang menthalaq istrinya yang sudah ia jima', agar bisa dinikahi lagi oleh suami pertamanya yang pernah menjatuhkan thalaq tiga (thalaq bain) kepadanya. Nikah tahlil merupakan bentuk kerjasama negatif antara muhallil (suami pertama) dan muhallal (suami kedua).
d.      Nikah beda Agama
Allah berfirman:

وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (٢٢١)

Artinya: “Jangan nikah perempuan-perempuan musyrik (kafir) sehingga mereka beriman, sesunguhnya hamba sahaya yang beriman lebih baik dari perempuan musyrik, meskipun ia menarik hatimu (karena kecantikannya) janganlah kamu nikahkan perempuan muslimah dengan laki-laki musyrik sehingga ia beriman.” (QS. AL-Baqarah : 221)

4.      Persiapan Pelaksanaan Pernikahan
a.      Meminang atau Khitbah
Khitbah artinya pinangan, yaitu permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk dijadikan istri dengan cara-cara umum yang sudah berlaku di masyarakat.[4] Terkait dengan permasalahan khitbah, Allah Swt. berfirman:
وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ ... (٢٣٥)
Artinya: “Dan tak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran yang baik atau harus menyembunyikan keinginan mengawini mereka dalam hatimu … (QS. Al-Baqarah : 235).

1)      Cara mengajukan pinangan
a)      Pinangan kepada gadis atau janda yang sudah habis masa iddahnya dinyatakan secara terang-terangan.
b)      Pinangan kepada janda yang masih berada dalam masa iddah thalaq bain atau ditinggal mati suami tidak boleh dinyatakan secara terang-terangan. Pinangan kepada mereka hanya boleh dilakukan secara sindiran. Hal ini sebagaimana Allah terangkan dalam surat al-Baqarah ayat 235 di atas.
2)      Perempuan yang boleh dipinang
Perempuan-perempuan yang boleh dipinang ada tiga, yaitu :
a)      Perempuan yang bukan berstatus sebagai istri orang.
b)      Perempuan yang tidak dalam masa ’iddah.
c)      Perempuan yang belum dipinang orang lain.
Tiga kelompok wanita di atas boleh dipinang, baik secara terang-terangan atau sindiran.
b.      Melihat Calon Suami atau Istri
Melihat perempuan yang akan dinikahi disunnahkan oleh agama. Karena meminang calon istri merupakan pendahuluan pernikahan. Sedangkan melihatnya adalah gambaran awal untuk mengetahui penampilan dan kecantikannya, hingga pada akhirnya terwujud keluarga yang bahagia.
Beberapa pendapat tentang batas kebolehan melihat seorang perempuan yang akan dipinang yaitu:
1)      Jumhur ulama berpendapat boleh melihat wajah dan kedua telapak tangan, karena dengan demikian akan dapat diketahui kehalusan tubuh dan kecantikannya.
2)      Abu Dawud berpendapat boleh melihat seluruh tubuh.
3)      Imam Abu Hanifah membolehkan melihat dua telapak kaki, muka dan telapak tangan.
c.       Mahram atau Perempuan Yang Haram Dinikahi
Mahram adalah orang, baik laki-laki maupun perempuan yang haram dinikahi. Adapun sebab-sebab yang menjadikan seorang perempuan menjadi haram dinikahi oleh seseorang laki-laki dapat dibagi menjadi dua yaitu:
1)      Sebab Haram Dinikah untuk Selamanya[5]
Tujuh Wanita-wanita yang haram dinikahi karena keturunan:
a)      Ibu
b)      Anak perempuan dan anak perempuannya beserta semua jalur ke bawah
c)      Saudara perempuan (sekandung, seayah atau seibu)
d)     Bibi (saudara ibu, baik sekandung atau dengan perantara ayah atau ibu)
e)      Bibi (saudara ayah, baik sekandung atau dengan perantara ayah atau ibu)
f)       Anak perempuan dari saudara laki-laki terus kebawah
g)      Anak perempuan dari saudara perempuan terus ke bawah
Dua orang yang diharamkan karena faktor susuan:[6]
a)      Ibu yang menyusui
b)      Saudara perempuan yang mempunyai hubungan susuan
Empat perempuan yang diharamkan karena hubungan perkawinan:
a)      Ibu istrinya (ibu mertua) dan seterusnya ke atas
b)      Rabibah, yaitu anak tiri, jika sudah bercampur dengan ibunya
c)      Bekas menantu perempuan
d)     Ibu tiri (wanita yang pernah dikawini oleh ayah, kakek, sampai ke atas)
2)      Sebab Haram Dinikahi Sementara
Ada beberapa sebab yang menjadikan seorang wanita tidak boleh dinikahi sementara waktu. Bia sebab tersebut hilang, maka wanita tersebut boleh dinikahi kembali. Sebab-sebab tersebut adalah:
a)      Pertalian nikah
Perempuan yang masih dalam ikatan perkawinan, haram dinikahi laki-laki lain. Termasuk perempuan yang masih ada dalam massa iddah, baik iddah talak maupun iddah wafat.
b)      Thalaq bain kubra (cerai tiga)
Bagi seorang laki-laki yang mencerai istrinya dengan thalaq tiga, haram baginya menikah dengan mantan istrinya itu, selama ia belum dinikahi lakilaki lain, kemudian diceraikan. Dengan kata lain, ia bisa menikahi kembali istrinya tersebut dengan beberapa syarat berikut:
·         Istrinya telah menikah dengan laki-laki lain (suami baru).
·         Istrnya telah melakukan hubungan seksual dengan suami barunya.
·         Istrinya dicerai suami barunya secara wajar, bukan karena ada rekayasa.
·         Telah habis masa iddah thalaq dari suami baru.
c)      Memadu dua orang perempuan bersaudara
Diharamkan bagi seorang laki-laki yang masih berada dalam ikatan pernikahan dengan seorang perempuan menikahi beberapa wanita berikut:
·         Saudara perempuan istrinya, baik kandung seayah maupun seibu
·         Saudara perempuan ibu istrinya (bibi istri) baik kandung seayah ataupun kandung seibu dengan ibu istrinya.
·         Saudara perempuan bapak istrinya (bibi istrinya) baik kandung seayah atupun seibu dengan bapak istrinya.
·         Anak perempuan saudara permpuan istrinya (keponakan istrinya) baik kandung seayah maupun seibu
·         Anak perempuan saudara laki-laki istrinya baik kandung seayah maupun seibu
·         Semua perempuan yang bertalian susuan dengan istrinya.

d)     Berpoligami lebih dari empat
Seorang laki-laki yang telah beristri empat, haram baginya menikahi wanita yang kelima. Karena syara’ telah menetapkan bahwa seorang laki-laki hanya boleh menikahi maksimal empat orang wanita.
e)      Perbedaan agama
Haram nikah karena perbedaan agama, ada dua macam :
·         Perempuan musyrik, dimana ia haram dinikahi laki-laki muslim
·         Perempuan muslimah, dimana ia haram dinikahi laki-laki non muslim, yaitu orang musyrik atau penganut agama selain islam.
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah: 221
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (٢٢١)

Artinya: "Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita-wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orangorang musyrik (dengan wanita muslim) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budah yang mukmin lebih baik daripada orang-orang musyrik walaupun dia menarik hatimu." (Q.S Al-Baqarah:221)

d.      Prinsip Kafaah Dalam Pernikahan
Kafaah atau kufu artinya kesamaan, kecocokan dan kesetaraan. Dalam konteks pernikahan berarti adanya kesamaan atau kesetaraan antara calon suami dan calon istri dari segi (keturunan), status sosial (jabatan, pangkat) agama (akhlak) dan harta kekayaan.[7]
Hukum Kafaah:
Beberapa pendapat tentang hal-hal yang dapat diperhitungkan dalam kafaah, yaitu:
1)      Sebagian ulama mengutamakan bahwa kafaah itu diukur dengan nasab (keturunan), kemerdekaan, ketataan, agama, pangkat pekerjaan/profesi dan kekayaan.
2)      Pendapat lain mengatakan bahwa kafaah itu diukur dengan ketataan menjalankan agama. Laki-laki yang tidak patuh menjalankan agama tidak sekufu dengan perempuan yang patuh menjalankan agamanya. Laki-laki yang akhlaknya buruk tidak sekufu dengan perempuan yang akhlaknya mulia.
Kufu ditinjau dari segi agama. Firman Allah SWT :

وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (٢٢١)

Artinya: "Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sehingga mereka beriman, dan sungguh budak yang beriman itu lebih baik daripada wanita-wanita musyrik, sekali pun ia sangat menggiurkanmu. Dan janganlah kamu menikahkan (wanitawanita mukmin kamu) dengan pria musyrik sehingga mereka beriman. Sungguh budak laki-laki yang mukmin itu lebih baik daripada laki-laki musyrik walaupun menggiurkanmu." (QS. Al-Baqarah 221)

Ayat di atas menjelaskan tentang tinjauan sekufu dari segi agama. Yang menjadi standar disini adalah keimanan. Ketika seorang yang beriman menikah dengan orang yang tidak beriman, maka pernikahan keduanya tidak dianggap sekufu.
e.       Mahar
Mahar atau mas kawin adalah pemberian wajib dari suami kepada istri karena sebab pernikahan.[8] Mahar bisa berupa uang, benda, perhiasan, atau jasa seperti mengajar Al Qur’an. Firman Allah SWT :
وَأَتُوْا النِّسَآءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
Artinya: “Bayarkanlah mahar kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian hibah/tanda cinta.” (QS. An Nisa 4)[9]

Macam-macam Mahar meliputi:
1)      Mashar Musamma yaitu mahar yang jenis dan jumlahnya disebutkan saat akad nikah berlangsung.
2)      Mahar Mitsil yaitu mahar yang jenis atau kadarnya diukur sepadan dengan mahar yang pernah diterima oleh anggota keluarga atau tetangga terdekat kala mereka melangsungkan akad nikah dengan melihat status sosial, umur, kecantikan, gadis atau janda.

5.      Pelaksanaan Perkawinan
a.       Syarat dan Rukun Pernikahan[10]
1)      Calon suami, syaratnya :
a)      Beragama Islam
b)      Ia benar-benar seorang laki-laki
c)      Menikah bukan karena dasar paksaan
d)     Bukan laki-laki yang memiliki empat istri
e)       Mengetahui bahwa calon istri bukanlah wanita yang haram ia nikahi
f)       Tidak menghimpun dua orang wanita bersaudara sekandung
g)      Tidak sedang berihram haji atau umrah
2)      Calon istri, syaratnya :
a)      Beragama Islam
b)      Benar-benar seorang perempuan
c)      Mendapat izin menikah dari walinya
d)     Bukan sebagai istri orang lain
e)      Bukan sebagai mu’taddah (wanita yang sedang dalam masa ‘iddah)
f)       Tidak memiliki hubungan mahram dengan calon suaminya
g)      Bukan sebagai wanita yang pernah dili’an calon suaminya (dilaknat suaminya karena tertuduh zina)
h)      Atas kemauan sendiri
i)        Tidak sedang ihram haji atau umrah
3)      Wali, syaratnya :
a)      Laki-laki
b)      Beragama Islam
c)      Baligh (dewasa)
d)     Berakal
e)      Merdeka (bukan berstatus sebagai hamba sahaya)
f)        Adil
g)      Tidak sedang ihram haji atu umrah
4)      Dua orang saksi, syaratnya :
a)      Dua orang laki-laki
b)      Beragama Islam
c)      Dewasa/baligh, berakal, merdeka dan adil
d)     Melihat dan mendengar
e)      Memahami bahasa yang digunkan dalam akad
f)        Tidak sedang mengerjakan ihram haji atau umrah
g)      Hadir dalam ijab qabul
5)      Ijab qabul, syaratnya :
a)      Menggunakan kata yang bermakna menikah ( baik bahasa Arab, bahasa Indonesia, atau bahasa daerah sang pengantin.
b)      Lafadz ijab qabul diucapkan pelaku akad nikah (pengantin laki-laki dan wali pengantin perempuan).
c)      Antara ijab dan qaul harus bersambung tidak boleh diselingi perkataan atau perbuatan lain.
d)     Pelaksanaan ijab dan qabul harus berada pada satu tempat tidak dikaitkan dengan suatu persyaratan apapun.
e)      Tidak dibatasi dengan waktu tertentu.
6)      Hukum mengadakan walimah
Menurut mayoritas ulama, hukum mengadakan walimah adalah sunnah mu’akad. Hal ini dikarenakan walimah pada hakikatnya pemberian makanan lantaran mendapatkan kegembiraan. Disamping sebagai rasa syukur, dapat menjadikan ajang pertemuan karib, kerabat, teman, tetangga yang dapat mempererat tali silaturahmi.
6.      Perceraian dalam Hukum Islam
a.       Thalaq
Thalaq ialah melepaskan tali ikatan nikah dari pihak suami dengan menggunakan lafadz tertentu. Dalam Islam thalaq merupakan perbuatan yang halal tapi sangat dibenci oleh Allah SWT.[11]
Rukun thalaq ada tiga yaitu suami, istri, dan ucapan thalaq. Adapun  syaratnya sebagaimana berikut:
1)      Suami yang menjatuhkan thalaq
a)      Ada ikatan pernikahan yang sah dengan istri
b)      Baligh
c)      Berakal
d)     Tidak dipaksa
2)      Istri (dithalaq)
a)      Mempunyai ikatan pernikahan yang sah dengan suami.
b)      Masih dalam masa iddah thalaq raj’i yang dijatuhkan sebelumnya.
Para ulama Syafi’iyah dan Hambali berpendapat bahwa hukum asal dari talak adalah makruh, sedang ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hukumnya haram.
b.      Khulu’
Khuluk adalah perceraian yang timbul atas kemauan istri dengan mengembalikan mahar kepada suaminya. Khuluk disebut juga dengan thalaq tebus. Terkait dengan khuluk, Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 229:
الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلا أَنْ يَخَافَا أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (٢٢٩)

Artinya: “...Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak dosa bagi keduanya mengadakan bayaran yang diberikan oleh pihak istri untuk menebus dirinya.”(QS. Al Baqarah : 229)

Besarnya tebusan khulu':
Tebusan khulu’ bisa berupa pengembalian mahar –sebagian atau seluruhnya- dan bisa juga harta tertentu yang sudah disepakati suami istri.  Pendapat sebagian ulama, tebusan khulu’ tidak boleh melebihi mas kawin yang pernah diberikan suami.
c.       Fasakh
Secara bahasa fasakh berarti rusak atau putus. Adapun dalam pembahasan fikih fasakh adalah pemisahan pernikahan yang dilakukan hakim dikarenakan alasan tertentu yang diajukan salah satu pihak dari suami istri yang bersangkutan. Sebab –sebab fasakh:
1)      Tidak terpenuhinya syarat-syarat akad nikah, semisal seseorang yang menikahi wanita yang ternyata adalah saudara perempuannya.
2)      Munculnya masalah yang dapat merusak pernikahan dan menghalangi tercapainya tujuan pernikahan, sebagaimana beberapa hal berikut:
a)      Murtadnya salah satu dari pasangan suami istri
b)      Hilangnya suami dalam tempo waktu yang cukup lama
c)      Miskinnya seorang suami hingga tidak mampu memberi na􀏐kah keluarga
d)     Dipenjarakannya suami, dan beberapa hal lainnya.
d.      Iddah
Iddah ialah masa tenggang atau batas waktu untuk tidak menikah bagi perempuan yang dicerai atau ditinggal mati suaminya.[12]
Macam-macam iddah :
1)      Iddah Istri yang dicerai dan ia masih haid, lamanya tiga kali suci.
2)      Iddah Istri yang dicerai dan ia sudah tidak haidh, lamanya tiga bulan
3)      Iddah Istri yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari bila ia tidak hamil.
4)      Iddah Istri yang dicerai dalam keadaan hamil lamanya sampai melahirkan
5)      Iddah Istri yang ditinggal wafat suaminya dalam keadaan hamil masa iddahnya menurut sebagian ulama adalah iddah hamil yaitu sampai melahirkan.
e.       Hadanah
Hadanah adalah memelihara anak dan mendidiknya dengan baik.
Syarat-syarat Hadanah :
1)    Berakal.
2)    Beragama.
3)    Medeka.
4)    Baligh.
5)    Mampu mendidik.
6)    Amanah.
Jika suami istri bercerai maka kepengurusan anak mengikuti aturan sebagaimana berikut:
1)      Jika anak masih kecil dalam pangkuan ibunya, maka ibu lebih berhak memeliharanya.
2)      Anak yang sudah dapat bekerja, pemeliharaannya dipasrahkan kepada anak tersebut, apakah ia akan memilih ibunya atau bapaknya. Ia bebas dengan pilihannya.
f.       Rujuk
Rujuk adalah kembalinya suami kepada istrinya yang telah dicerai, bila istrinya masih dalam masa iddah. Allah SWT. berfirman :
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ ... (٢٣١)
Artinya: “Apabila kamu menceraikan istri-istrimu lalu mereka menghendaki akhir iddahnya maka rujuklah mereka dengan cara yang baik pula.” (QS. Al-Baqarah : 231)

Syarat dan rukun rujuk untuk istri, apabila:
1)      Sudah pernah dicampuri
2)      Thalaq yang dijatuhkan adalah talatalaq raj’i
3)      Dalam massa iddah
Syarat dan rukun rujuk untuk suami, apabila:
1)      Islam
2)      Baligh
3)      Berakal
4)      Tidak dipaksa
5)      Sighat/ucapan rujuk dari suami
Sighat rujuk yang diucapkan suami kepada istrinya bisa bernada tegas, dan juga bisa bernada sindiran.
7.      Pernikahan dalam Undang-undang
Di Indonesia, masalah perkawinan diatur dalam UU Perkawinan N0. 1 Tahun 1974. Undang-undang tersebut dibuat dengan mempertimbangkan falsafah negara Republik Indonesia, yaitu Pancasila, maka perlu dibuat undang-undang perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara. Dalam pembuatannya telah dicermati secara mendalam sehingga tidak bertentangan dengan hukum Islam. Perkawinan menurut undang-undang No. 1  Tahun 1974, yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rmah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Tang Maha Esa.[13]
Perkawinan seorang muslim dapat dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum islam, sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 berbunyi : “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agama (kepercayaan) masing-masing.”.
Perceraian diatur dalam pasal 129, bahwa “suami yang menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”[14] Pasal 130: “Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding kasasi
8.      Hikmah Pernikahan
a.       Melestarikan keturunan
b.      Untuk menenteramkan jiwa raga
Perkawinan dapat menghasilkan kesenangan hubungan seksual laki-laki dan perempuan secara sah dan membuat ketenangan dengan cara yang halal.
c.       Menghindari perbuatan tercela (maksiat)
Perkawinan dapat menjaga diri seseorang agar tidak terjerumus kedalam kerusakan akhlak.
d.      Meningkatkan produktivitas
Perkawinan dapat mendorong seseorang untuk giat bekerja, karena ada tuntutan kewajiban terutama bagi suami untuk memberikan nafkah kepada istri.
e.       Meringankan beban
Dengan perkawinan seseorang akan mendapatkan teman hidup yang lebih dekat untuk saling berdiskusi dan mencarikan solusi dalam mengatasi masalah sebagai problem kehidupan.
f.       Menambah kesempurnaan hidupnya dan ketaatan dalam menjalankan agamanya




[1] Mohd. Ramulyo Idris, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), 01
[2] Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga (Panduan Membangun Keluarga Sakinah Sesuai Syariat), (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011), 31
[3] Team MGMP ,  Modul Pintar Fikih XI MA (LKS) Semester 2, (Jakarta: Citra Pusaka, 2008, 4
[4] Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga (Panduan Membangun Keluarga Sakinah Sesuai Syariat), (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011), 61
[5] Sahrani sohari, Fikih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), 65
[6] Ibid
[7] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Jabal, 2010), 10
[8] Ibid, 11
[9]Ibid, 77
[10] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), 59
[11] Kementerian Agama, Fikih MA Kurikulum 2013, (Jakarta:Kementerian Agama, 2015), 25
[12] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru, 1987), 452
[13] Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2004), 48
[14] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Video Pembelajaran PAI

#VideoPAI - Baper Istimewa! Praktek Ijab Kabul/Akad Nikah (PAI G IAIN Ponorogo) #VideoPAI - Cara, Niat, dan Do'a Membayar Zakat Fitrah ...