A. PERKAWINAN
DALAM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN
1. Pengertian
Perkawinan
Pernikahan berasal dari bahasa arab
“nakaha” yang berarti “mengumpulkan”. Nikah menurut arti asli ialah hubungan
seksual. Nikah berarti menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dan
menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya. Dalam pengertian yang luas,
pernikahan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara dua orang, yaitu
laki-laki dan perempuan, untuk hidup bersama dalam satu rumah tangga dan untuk
mendapatkan keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan syariat
islam.[1] Allah
berfirman dalam surat an-Nisa’ ayat 3:
وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا
فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا (٣)
Artinya: “Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki.
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS.
An Nisa: 3)
2.
Hukum
Perkawinan
Jumhur ulama
menetapkan hukum menikah menjadi lima yaitu :[2]
a.
Mubah
Hukum asal
pernikahan adalah mubah. Hukum ini berlaku bagi seseorang yang tidak terdesak
oleh alasan-alasan yang mewajibkan nikah atau mengharamkannya.
b.
Sunnah
Hukum ini
berlaku bagi seseorang yang memiliki bekal untuk hidup berkeluarga, mampu
secara jasmani dan rohani untuk menyongsong kehidupan berumah tangga dan
dirinya tidak khawatir terjerumus dalam praktik perzinaan atau muqaddimahnya
(hubungan lawan jenis dalam bentuk apapun yang tidak sampai pada praktik
perzinaan).
c.
Wajib
Hukum ini
berlaku bagi siapapun yang telah mencapai kedewasaan jasmani dan rohani,
memiliki bekal untuk menafkahi
istri, dan khawatir dirinya akan terjerumus dalam perbuatan keji zina jika
hasrat kuatnya untuk menikah tak diwujudkan
d.
Makruh
Hukum ini
berlaku bagi seseorang yang belum mempunyai bekal untuk menafkahi keluarganya,
walaupun dirinya telah siap secara fisik untuk menyongsong kehidupan berumah
tangga, dan ia tidak khawatir terjerumus dalam praktik perzinaan hingga datang
waktu yang paling tepat untuknya. Untuk seseorang yang mana nikah menjadi
makruh untuknya, disarankan memperbanyak puasa guna meredam gejolak syahwatnya.
Kala dirinya telah memiliki bekal untuk menafkahi keluarga, ia diperintahkan
untuk bersegera menikah.
e.
Haram
Hukum ini
berlaku bagi seseorang yang menikah dengan tujuan menyakiti istrinya,
mempermainkannya serta memeras hartanya.
3.
Macam-macam
Perkawinan Terlarang
a.
Nikah Mut’ah
Nikah
mut’ah ialah nikah yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan melampiaskan
hawa nafsu dan bersenang-senang untuk sementara waktu. Nikah mut’ah pernah
diperbolehkan oleh Nabi Muhammad Saw. akan tetapi pada perkembangan selanjutnya
beliau melarangnya selama-lamanya.[3]
b.
Nikah Syighar
(kawin tukar)
Yang
dimaksud dengan nikah syighar adalah seorang perempuan yang dinikahkan walinya
dengan laki-laki lain tanpa mahar, dengan perjanjian bahwa laki-laki itu akan
menikahkan wali perempuan tersebut dengan wanita yang berada di bawah
perwaliannya.
c.
Nikah Tahlil
Gambaran nikah
tahlil adalah seorang suami yang menthalaq istrinya yang sudah ia jima',
agar bisa dinikahi lagi oleh suami pertamanya yang pernah menjatuhkan thalaq
tiga (thalaq bain) kepadanya. Nikah tahlil merupakan bentuk kerjasama negatif antara
muhallil (suami pertama) dan muhallal (suami kedua).
d.
Nikah beda Agama
Allah
berfirman:
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ
وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا
تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ
مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ
يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ
لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (٢٢١)
Artinya: “Jangan nikah
perempuan-perempuan musyrik (kafir) sehingga
mereka beriman, sesunguhnya hamba sahaya yang beriman lebih baik dari perempuan
musyrik, meskipun ia menarik hatimu (karena kecantikannya) janganlah kamu nikahkan
perempuan muslimah dengan laki-laki musyrik sehingga ia beriman.” (QS.
AL-Baqarah : 221)
4. Persiapan Pelaksanaan Pernikahan
a.
Meminang
atau Khitbah
Khitbah
artinya pinangan, yaitu permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan
untuk dijadikan istri dengan cara-cara umum yang sudah berlaku di masyarakat.[4]
Terkait dengan permasalahan khitbah, Allah Swt. berfirman:
وَلا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ
فِي أَنْفُسِكُمْ ... (٢٣٥)
Artinya: “Dan tak ada dosa
bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran yang baik atau harus
menyembunyikan keinginan mengawini mereka dalam hatimu … (QS. Al-Baqarah :
235).
1)
Cara mengajukan
pinangan
a)
Pinangan kepada
gadis atau janda yang sudah habis masa iddahnya dinyatakan secara terang-terangan.
b)
Pinangan kepada
janda yang masih berada dalam masa iddah thalaq bain atau ditinggal mati
suami tidak boleh dinyatakan secara terang-terangan. Pinangan kepada mereka
hanya boleh dilakukan secara sindiran. Hal ini sebagaimana Allah terangkan
dalam surat al-Baqarah ayat 235 di atas.
2)
Perempuan yang
boleh dipinang
Perempuan-perempuan
yang boleh dipinang ada tiga, yaitu :
a)
Perempuan yang
bukan berstatus sebagai istri orang.
b)
Perempuan yang
tidak dalam masa ’iddah.
c)
Perempuan yang
belum dipinang orang lain.
Tiga kelompok
wanita di atas boleh dipinang, baik secara terang-terangan atau sindiran.
b.
Melihat
Calon Suami atau Istri
Melihat
perempuan yang akan dinikahi disunnahkan oleh agama. Karena meminang calon
istri merupakan pendahuluan pernikahan. Sedangkan melihatnya adalah gambaran
awal untuk mengetahui penampilan dan kecantikannya, hingga pada akhirnya
terwujud keluarga yang bahagia.
Beberapa
pendapat tentang batas kebolehan melihat seorang perempuan yang akan dipinang
yaitu:
1)
Jumhur ulama
berpendapat boleh melihat wajah dan kedua telapak tangan, karena dengan
demikian akan dapat diketahui kehalusan tubuh dan kecantikannya.
2)
Abu Dawud
berpendapat boleh melihat seluruh tubuh.
3)
Imam Abu Hanifah
membolehkan melihat dua telapak kaki, muka dan telapak tangan.
c.
Mahram
atau Perempuan Yang Haram Dinikahi
Mahram
adalah orang, baik laki-laki maupun perempuan yang haram dinikahi. Adapun
sebab-sebab yang menjadikan seorang perempuan menjadi haram dinikahi oleh
seseorang laki-laki dapat dibagi menjadi dua yaitu:
1)
Sebab Haram
Dinikah untuk Selamanya[5]
Tujuh
Wanita-wanita yang haram dinikahi karena keturunan:
a)
Ibu
b)
Anak perempuan
dan anak perempuannya beserta semua jalur ke bawah
c)
Saudara
perempuan (sekandung, seayah atau seibu)
d)
Bibi (saudara
ibu, baik sekandung atau dengan perantara ayah atau ibu)
e)
Bibi (saudara
ayah, baik sekandung atau dengan perantara ayah atau ibu)
f)
Anak perempuan
dari saudara laki-laki terus kebawah
g)
Anak perempuan
dari saudara perempuan terus ke bawah
Dua orang yang diharamkan
karena faktor susuan:[6]
a)
Ibu yang
menyusui
b)
Saudara
perempuan yang mempunyai hubungan susuan
Empat perempuan yang
diharamkan karena hubungan perkawinan:
a)
Ibu istrinya
(ibu mertua) dan seterusnya ke atas
b)
Rabibah,
yaitu anak tiri, jika sudah bercampur dengan ibunya
c)
Bekas menantu
perempuan
d)
Ibu tiri (wanita
yang pernah dikawini oleh ayah, kakek, sampai ke atas)
2)
Sebab Haram
Dinikahi Sementara
Ada
beberapa sebab yang menjadikan seorang wanita tidak boleh dinikahi sementara
waktu. Bia sebab tersebut hilang, maka wanita tersebut boleh dinikahi kembali.
Sebab-sebab tersebut adalah:
a)
Pertalian nikah
Perempuan
yang masih dalam ikatan perkawinan, haram dinikahi laki-laki lain. Termasuk
perempuan yang masih ada dalam massa iddah, baik iddah talak maupun iddah
wafat.
b)
Thalaq bain
kubra (cerai tiga)
Bagi
seorang laki-laki yang mencerai istrinya dengan thalaq tiga, haram baginya
menikah dengan mantan istrinya itu, selama ia belum dinikahi lakilaki lain,
kemudian diceraikan. Dengan kata lain, ia bisa menikahi kembali istrinya
tersebut dengan beberapa syarat berikut:
·
Istrinya telah
menikah dengan laki-laki lain (suami baru).
·
Istrnya telah
melakukan hubungan seksual dengan suami barunya.
·
Istrinya dicerai
suami barunya secara wajar, bukan karena ada rekayasa.
·
Telah habis masa
iddah thalaq dari suami baru.
c)
Memadu dua orang
perempuan bersaudara
Diharamkan
bagi seorang laki-laki yang masih berada dalam ikatan pernikahan dengan seorang
perempuan menikahi beberapa wanita berikut:
·
Saudara
perempuan istrinya, baik kandung seayah maupun seibu
·
Saudara
perempuan ibu istrinya (bibi istri) baik kandung seayah ataupun kandung seibu
dengan ibu istrinya.
·
Saudara
perempuan bapak istrinya (bibi istrinya) baik kandung seayah atupun seibu
dengan bapak istrinya.
·
Anak perempuan
saudara permpuan istrinya (keponakan istrinya) baik kandung seayah maupun seibu
·
Anak perempuan
saudara laki-laki istrinya baik kandung seayah maupun seibu
·
Semua perempuan
yang bertalian susuan dengan istrinya.
d)
Berpoligami
lebih dari empat
Seorang
laki-laki yang telah beristri empat, haram baginya menikahi wanita yang kelima.
Karena syara’ telah menetapkan bahwa seorang laki-laki hanya boleh menikahi
maksimal empat orang wanita.
e)
Perbedaan agama
Haram
nikah karena perbedaan agama, ada dua macam :
·
Perempuan
musyrik, dimana ia haram dinikahi laki-laki muslim
·
Perempuan
muslimah, dimana ia haram dinikahi laki-laki non muslim, yaitu orang musyrik
atau penganut agama selain islam.
Sebagaimana firman
Allah dalam surat Al-Baqarah: 221
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ
خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ
حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ
أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ
وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ
يَتَذَكَّرُونَ (٢٢١)
Artinya:
"Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada
wanita-wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orangorang musyrik (dengan wanita muslim) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budah yang mukmin lebih baik daripada orang-orang
musyrik walaupun dia menarik hatimu." (Q.S
Al-Baqarah:221)
d.
Prinsip
Kafaah Dalam Pernikahan
Kafaah
atau kufu artinya kesamaan, kecocokan dan kesetaraan. Dalam konteks pernikahan
berarti adanya kesamaan atau kesetaraan antara calon suami dan calon istri dari
segi (keturunan), status sosial (jabatan, pangkat) agama (akhlak) dan harta
kekayaan.[7]
Hukum
Kafaah:
Beberapa
pendapat tentang hal-hal yang dapat diperhitungkan dalam kafaah, yaitu:
1)
Sebagian ulama
mengutamakan bahwa kafaah itu diukur dengan nasab (keturunan), kemerdekaan,
ketataan, agama, pangkat pekerjaan/profesi dan kekayaan.
2)
Pendapat lain
mengatakan bahwa kafaah itu diukur dengan ketataan menjalankan agama. Laki-laki
yang tidak patuh menjalankan agama tidak sekufu dengan perempuan yang patuh
menjalankan agamanya. Laki-laki yang akhlaknya buruk tidak sekufu dengan
perempuan yang akhlaknya mulia.
Kufu ditinjau dari segi agama.
Firman Allah SWT :
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ
خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ
حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ
أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ
وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ
يَتَذَكَّرُونَ (٢٢١)
Artinya:
"Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sehingga mereka beriman, dan
sungguh budak yang beriman itu lebih baik daripada wanita-wanita musyrik, sekali
pun ia sangat menggiurkanmu. Dan janganlah kamu menikahkan (wanitawanita mukmin
kamu) dengan pria musyrik sehingga mereka beriman. Sungguh budak laki-laki yang
mukmin itu lebih baik daripada laki-laki musyrik walaupun menggiurkanmu." (QS.
Al-Baqarah 221)
Ayat
di atas menjelaskan tentang tinjauan sekufu dari segi agama. Yang menjadi
standar disini adalah keimanan. Ketika seorang yang beriman menikah dengan
orang yang tidak beriman, maka pernikahan keduanya tidak dianggap sekufu.
e.
Mahar
Mahar
atau mas kawin adalah pemberian wajib dari suami kepada istri karena sebab
pernikahan.[8] Mahar bisa berupa uang,
benda, perhiasan, atau jasa seperti mengajar Al Qur’an. Firman Allah SWT :
وَأَتُوْا
النِّسَآءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
Artinya: “Bayarkanlah
mahar kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian hibah/tanda cinta.”
(QS. An Nisa 4)[9]
Macam-macam Mahar meliputi:
1)
Mashar Musamma
yaitu mahar yang jenis dan jumlahnya disebutkan saat akad nikah berlangsung.
2)
Mahar Mitsil
yaitu mahar yang jenis atau kadarnya diukur sepadan dengan mahar yang pernah
diterima oleh anggota keluarga atau tetangga terdekat kala mereka melangsungkan
akad nikah dengan melihat status sosial, umur, kecantikan, gadis atau janda.
5.
Pelaksanaan
Perkawinan
a.
Syarat dan Rukun
Pernikahan[10]
1)
Calon suami,
syaratnya :
a)
Beragama Islam
b)
Ia benar-benar
seorang laki-laki
c)
Menikah bukan
karena dasar paksaan
d)
Bukan laki-laki
yang memiliki empat istri
e)
Mengetahui bahwa calon istri bukanlah wanita
yang haram ia nikahi
f)
Tidak menghimpun
dua orang wanita bersaudara sekandung
g)
Tidak sedang
berihram haji atau umrah
2)
Calon istri,
syaratnya :
a)
Beragama Islam
b)
Benar-benar
seorang perempuan
c)
Mendapat izin
menikah dari walinya
d)
Bukan sebagai
istri orang lain
e)
Bukan sebagai
mu’taddah (wanita yang sedang dalam masa ‘iddah)
f)
Tidak memiliki
hubungan mahram dengan calon suaminya
g)
Bukan sebagai
wanita yang pernah dili’an calon suaminya (dilaknat suaminya karena tertuduh
zina)
h)
Atas kemauan
sendiri
i)
Tidak sedang
ihram haji atau umrah
3)
Wali, syaratnya
:
a)
Laki-laki
b)
Beragama Islam
c)
Baligh (dewasa)
d)
Berakal
e)
Merdeka (bukan
berstatus sebagai hamba sahaya)
f)
Adil
g)
Tidak sedang
ihram haji atu umrah
4)
Dua orang saksi,
syaratnya :
a)
Dua orang
laki-laki
b)
Beragama Islam
c)
Dewasa/baligh,
berakal, merdeka dan adil
d)
Melihat dan
mendengar
e)
Memahami bahasa
yang digunkan dalam akad
f)
Tidak sedang mengerjakan ihram haji atau umrah
g)
Hadir dalam ijab
qabul
5)
Ijab qabul,
syaratnya :
a)
Menggunakan kata
yang bermakna menikah ( baik bahasa Arab, bahasa Indonesia, atau bahasa daerah
sang pengantin.
b)
Lafadz ijab
qabul diucapkan pelaku akad nikah (pengantin laki-laki dan wali pengantin
perempuan).
c)
Antara ijab dan
qaul harus bersambung tidak boleh diselingi perkataan atau perbuatan lain.
d)
Pelaksanaan ijab
dan qabul harus berada pada satu tempat tidak dikaitkan dengan suatu
persyaratan apapun.
e)
Tidak dibatasi
dengan waktu tertentu.
6)
Hukum mengadakan
walimah
Menurut
mayoritas ulama, hukum mengadakan walimah adalah sunnah mu’akad. Hal ini
dikarenakan walimah pada hakikatnya pemberian makanan lantaran mendapatkan
kegembiraan. Disamping sebagai rasa syukur, dapat menjadikan ajang pertemuan
karib, kerabat, teman, tetangga yang dapat mempererat tali silaturahmi.
6.
Perceraian
dalam Hukum Islam
a.
Thalaq
Thalaq
ialah melepaskan tali ikatan nikah dari pihak suami dengan menggunakan lafadz
tertentu. Dalam Islam thalaq merupakan perbuatan yang halal tapi sangat dibenci
oleh Allah SWT.[11]
Rukun
thalaq ada tiga yaitu suami, istri, dan ucapan thalaq. Adapun syaratnya sebagaimana berikut:
1)
Suami yang
menjatuhkan thalaq
a)
Ada ikatan
pernikahan yang sah dengan istri
b)
Baligh
c)
Berakal
d)
Tidak dipaksa
2)
Istri (dithalaq)
a)
Mempunyai ikatan
pernikahan yang sah dengan suami.
b)
Masih dalam masa
iddah thalaq raj’i yang dijatuhkan sebelumnya.
Para ulama
Syafi’iyah dan Hambali berpendapat bahwa hukum asal dari talak adalah makruh,
sedang ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hukumnya haram.
b.
Khulu’
Khuluk
adalah perceraian yang timbul atas kemauan istri dengan mengembalikan mahar
kepada suaminya. Khuluk disebut juga dengan thalaq tebus. Terkait dengan
khuluk, Allah berfirman dalam surat al-Baqarah
ayat 229:
الطَّلاقُ مَرَّتَانِ
فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ
تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلا أَنْ يَخَافَا أَلا يُقِيمَا
حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا
وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (٢٢٩)
Artinya: “...Jika kamu
khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, maka tidak dosa bagi keduanya mengadakan bayaran yang diberikan oleh
pihak istri untuk menebus dirinya.”(QS. Al Baqarah : 229)
Besarnya tebusan khulu':
Tebusan khulu’ bisa
berupa pengembalian mahar –sebagian atau seluruhnya- dan bisa juga harta
tertentu yang sudah disepakati suami istri.
Pendapat sebagian ulama, tebusan khulu’ tidak boleh melebihi mas kawin yang
pernah diberikan suami.
c.
Fasakh
Secara
bahasa fasakh berarti rusak atau putus. Adapun dalam pembahasan fikih
fasakh adalah pemisahan pernikahan yang dilakukan hakim dikarenakan alasan
tertentu yang diajukan salah satu pihak dari suami istri yang bersangkutan. Sebab
–sebab fasakh:
1)
Tidak
terpenuhinya syarat-syarat akad nikah, semisal seseorang yang menikahi wanita
yang ternyata adalah saudara perempuannya.
2)
Munculnya
masalah yang dapat merusak pernikahan dan menghalangi tercapainya tujuan
pernikahan, sebagaimana beberapa hal berikut:
a)
Murtadnya salah
satu dari pasangan suami istri
b)
Hilangnya suami
dalam tempo waktu yang cukup lama
c)
Miskinnya
seorang suami hingga tidak mampu memberi nakah
keluarga
d)
Dipenjarakannya
suami, dan beberapa hal lainnya.
d.
Iddah
Iddah
ialah masa tenggang atau batas waktu untuk tidak menikah bagi perempuan yang
dicerai atau ditinggal mati suaminya.[12]
Macam-macam
iddah :
1)
Iddah Istri yang
dicerai dan ia masih haid, lamanya tiga kali suci.
2)
Iddah Istri yang
dicerai dan ia sudah tidak haidh, lamanya tiga bulan
3)
Iddah Istri yang
ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari bila ia tidak hamil.
4)
Iddah Istri yang
dicerai dalam keadaan hamil lamanya sampai melahirkan
5)
Iddah Istri yang
ditinggal wafat suaminya dalam keadaan hamil masa iddahnya menurut sebagian
ulama adalah iddah hamil yaitu sampai melahirkan.
e.
Hadanah
Hadanah
adalah memelihara anak dan mendidiknya dengan baik.
Syarat-syarat
Hadanah :
1)
Berakal.
2)
Beragama.
3)
Medeka.
4)
Baligh.
5)
Mampu mendidik.
6)
Amanah.
Jika
suami istri bercerai maka kepengurusan anak mengikuti aturan sebagaimana
berikut:
1)
Jika anak masih
kecil dalam pangkuan ibunya, maka ibu lebih berhak memeliharanya.
2)
Anak yang sudah
dapat bekerja, pemeliharaannya dipasrahkan kepada anak tersebut, apakah ia akan
memilih ibunya atau bapaknya. Ia bebas dengan pilihannya.
f.
Rujuk
Rujuk
adalah
kembalinya suami kepada istrinya yang telah dicerai, bila istrinya masih dalam
masa iddah. Allah SWT. berfirman :
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ
فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ ... (٢٣١)
Artinya: “Apabila
kamu menceraikan istri-istrimu lalu mereka menghendaki akhir iddahnya maka
rujuklah mereka dengan cara yang baik pula.” (QS. Al-Baqarah : 231)
Syarat
dan rukun rujuk untuk istri, apabila:
1)
Sudah pernah
dicampuri
2)
Thalaq yang
dijatuhkan adalah talatalaq raj’i
3)
Dalam massa
iddah
Syarat
dan rukun rujuk untuk suami, apabila:
1)
Islam
2)
Baligh
3)
Berakal
4)
Tidak dipaksa
5)
Sighat/ucapan
rujuk dari suami
Sighat
rujuk yang diucapkan suami kepada istrinya bisa bernada tegas, dan juga bisa
bernada sindiran.
7.
Pernikahan
dalam Undang-undang
Di Indonesia, masalah perkawinan diatur dalam UU Perkawinan N0. 1 Tahun
1974. Undang-undang tersebut dibuat dengan mempertimbangkan falsafah negara
Republik Indonesia, yaitu Pancasila, maka perlu dibuat undang-undang perkawinan
yang berlaku bagi semua warga negara. Dalam pembuatannya telah dicermati secara
mendalam sehingga tidak bertentangan dengan hukum Islam. Perkawinan menurut undang-undang No. 1 Tahun 1974, yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rmah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Tang Maha Esa.[13]
Perkawinan
seorang
muslim dapat dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum
islam, sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 berbunyi :
“perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agama (kepercayaan) masing-masing.”.
Perceraian diatur dalam pasal 129, bahwa “suami yang menjatuhkan talak
kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan
serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”[14]
Pasal 130: “Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut
dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding kasasi
8. Hikmah
Pernikahan
a. Melestarikan keturunan
b. Untuk menenteramkan jiwa raga
Perkawinan dapat menghasilkan kesenangan hubungan
seksual laki-laki dan perempuan secara sah dan membuat ketenangan dengan cara
yang halal.
c. Menghindari perbuatan tercela (maksiat)
Perkawinan dapat menjaga diri seseorang agar tidak
terjerumus kedalam kerusakan akhlak.
d. Meningkatkan produktivitas
Perkawinan dapat mendorong seseorang untuk giat
bekerja, karena ada tuntutan kewajiban terutama bagi suami untuk memberikan
nafkah kepada istri.
e. Meringankan beban
Dengan perkawinan seseorang akan mendapatkan teman
hidup yang lebih dekat untuk saling berdiskusi dan mencarikan solusi dalam
mengatasi masalah sebagai problem kehidupan.
f. Menambah kesempurnaan hidupnya dan ketaatan
dalam menjalankan agamanya
[2] Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga (Panduan Membangun Keluarga
Sakinah Sesuai Syariat), (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011), 31
[4] Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga (Panduan
Membangun Keluarga Sakinah Sesuai Syariat), (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2011), 61
[13] Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam,
(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2004), 48
Tidak ada komentar:
Posting Komentar