1.
Pengertian dan hukum gadai
Gadai menurut istilah syara’ ialah penyerahan suatu benda yang
berharga dari seseorang kepada orang lain untuk mendapatkan hutang. Hukum asal gadai adalah
mubah/ boleh.
2.
Rukun dan Syarat Gadai (Rahn)
Dalam melaksanakan suatu
perikatan terdapat rukun dan syarat gadai yang harus dipenuhi. Secara
bahasa rukun adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan. Sedangkan
syarat adalah ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus dipindahkan dan
dilakukan. Gadai atau pinjaman dengan jaminan benda memiliki beberapa rukun,
antara lain :
a. Akad dan ijab Kabul
b. Aqid, yaitu yang
menggadaikan dan yang menerima gadai.
c. Barang yang dijadikan jaminan, syarat pada benda yang dijadikan jaminan
ialah keadaan barang itu tidak rusak sebelum janji utang harus dibayar.[1]
Syarat Rahn antara lain :[2]
a.
Rahin dan murtahin
Tentang
pemberi dan penerima gadai disyaratkan keduanya merupakan orang yang cakap
untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syari'at Islam
yaitu berakal dan baligh.
b.
Sighat
Ulama
hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau
dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena sebab rahn jual beli, jika memakai
syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.
c.
Marhun bih (utang)
Menyangkut
adanya utang, bahwa utang tersebut disyaratkan merupakan utang yang tetap,
dengan kata lain utang tersebut bukan merupakan utang yang bertambah-tambah
atau utang yang mempunyai bunga, sebab seandainya utang tersebut merupakan
utang yang berbunga maka perjanjian tersebut sudah merupakan perjanjian yang
mengandung unsur riba, sedangkan perbuatan riba ini bertentangan dengan
ketentuan syari'at Islam.
3.
Ketentuan Umum Pelaksanaan Rahn dalam Islam
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pelaksanaan ar-rahn antara lain:
a.
Kedudukan Barang Gadai.
Selama
ada di tangan pemegang gadai, maka kedudukan barang gadai hanya merupakan suatu
amanat yang dipercayakan kepadanya oleh pihak penggadai.
b.
Pemanfaatan Barang Gadai.
Pada
dasarnya barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya baik oleh pemiliknya
maupun oleh penerima gadai. Hal ini disebabkan status barang tersebut hanya
sebagai jaminan utang dan sebagai amanat bagi penerimanya. Apabila mendapat
izin dari masing-masing pihak yang bersangkutan, maka barang tersebut boleh
dimanfaatkan. Oleh karena itu agar di dalam perjanjian gadai itu tercantum
ketentuan jika penggadai atau penerima gadai meminta izin untuk memanfaatkan
barang gadai, maka hasilnya menjadi milik bersama. Ketentuan ini dimaksudkan
untuk menghindari harta benda tidak berfungsi atau mubazir.
c.
Resiko Atas Kerusakan Barang Gadai
Ada
beberapa pendapat mengenai kerusakan barang gadai yang di sebabkan tanpa
kesengajaan murtahin. Ulama mazhab Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa
murtahin (penerima gadai) tidak menanggung resiko sebesar harga barang yang
minimum. Penghitungan di mulai pada saat diserahkannya barang gadai kepada
murtahin sampai hari rusak atau hilang.
d.
Pemeliharaan Barang Gadai
Para
ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa biaya pemeliharaan barang
gadai menjadi tanggungan penggadai dengan alasan bahwa barang tersebut berasal
dari penggadai dan tetap merupakan miliknya. Sedangkan para ulama’ Hanafiyah
berpendapat lain, biaya yang diperlukan untuk menyimpan dan memelihara
keselamatan barang gadai menjadi tanggungan penerima gadai dalam kedudukanya
sebagai orang yang menerima amanat.
e.
Kategori Barang Gadai
Jenis
barang yang biasa digadaikan sebagai jaminan adalah semua barang bergerak dan
tak bergerak yang memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Benda bernilai menurut hukum syara’
b. Benda berwujud pada waktu perjanjian terjadi
c. Benda diserahkan seketika kepada murtahin
d. Pembayaran atau Pelunasan Utang Gadai.
Apabila sampai pada waktu
yang sudah di tentukan, rahin belum juga membayar kembali utangnya, maka rahin
dapat dipaksa oleh marhun untuk menjual barang gadaianya dan kemudian digunakan
untuk melunasi hutangnya.
d.
Prosedur Pelelangan Gadai
Jumhur
fukaha berpendapat bahwa orang yang menggadaikan tidak boleh menjual atau
menghibahkan barang gadai, sedangkan bagi penerima gadai dibolehkan menjual
barang tersebut dengan syarat pada saat jatuh tempo pihak penggadai tidak dapat
melunasi kewajibanya.[3]
4.
Pemanfaatan barang gadai
Barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya baik oleh yang
menggadaikan maupun oleh penerima gadai. Kecuali jiak ada kesepakatan antara
kedua belah pihak. Pihak yang menggadaikan tidak lagi mempunyai barang tersebut
secara sempurna, sementara itu pihak peneriam gadai hanya berhak menahan barang
gadai, tidak memilikinya.[4]
5.
Hikmah gadai
Gadai disyariatkan untuk memelihara harta agar tidak hilang hak
pemberi pinjaman. Apabila telah jatuh tempo. Yang memberiakn jaminan wajib
membayar. Jika ia tidak bisa membayar, maka jiak penggadai mengijinkan kepada
yang mendapat jaminan dalam menjualnya, ia menjualnnya dan membayar hutang. Dan
jika tidak, penguasanya memaksanya membayarnya atau menjual barang yang
digadaikan. Gadai adalah amanah ditangan peneriam gadai ( kreditor) atau orang
yang diberi amanah, ia tidak bertanggung jawab kecualiia melakukan tindakan
melewati batas atau melakukan kelalaian.
Gadai ialah perajanjian (akad ) pinjam meminjam
dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan hutang. Perjanjian gadai itu di
benarkan oleh islam, berdasarkan:
1. Al Qur’an dalam surat Al Baqarah ayat 283 :
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ
وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا
فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ (٢٨٣)
Artinya : jika kamu dalam perjalanan
(dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang
penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang
berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan
persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
2. Hadis riwayat Al
Bukhori dan lainnyadari Aisyah, bahwa nabi pernah membeli bahan makanan dari
seseorang yahudi secara hutang dan menggadaikan baju besinya kepadanya (orang
yahudi itu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar