A.
Ketentuan Pinjam Meminjam
1.
Pengertian Pinjam Meminjam
Pengertian pinjam meminjam artinya memberikan sesuatu yang halal
kepada orang lain tanpa ada imbalan untuk diambil manfaatnya dengan tidak
merusak keadaan benda tersebut agar dapat dikembalikan kepada pemiliknya.[1]
2.
Rukun dan Syarat Pinjam-Meminjam
a.
Rukun pinjam meminjam
1)
Seseorang yang meminjamkan / pemilik barang
2)
Peminjam
3)
barang yang dipinjamkan. Barang itu kekal/ bersifat tetap, tidak
habis setelah diambil manfaatnya. Oleh karena itu makanan yang setelah
dimanfaatkan menjadi habis atau berkurang zatnya tidak sah dipinjamkan.
4)
akad yaitu ijab qabul
3.
Syarat-syarat pinjam meminjam
a.
Orang yang meminjamkan syaratnya :
-
Baligh
-
Berakal sehat
-
Tidak mubazir.
-
Tidak dipaksa
b.
Orang yang meminjam, syaratnya :
-
Baligh
-
Berakal sehat
-
Tidak mubazir
c.
Barang yang dipinjamkan syaratnya :
-
Ada manfaatnya
-
Manfaatnya masih ada saat akad
-
Manfaat itu dimiliki oleh orang yang meminjam
d.
Ijab qabul syaratnya :
-
Jelas
-
Mudah dimengerti
-
Muwalah atau bersambung
4. Macam-macam Ariyah ( Pinjam- Meminjam)
Ditinjau dari kewenangannya, akad pinjaman meminjam (ariyah) pada
umumnya dapat dibedakan menjadi dua macam
1.
Ariyah Muqayyadah
Yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang bersifat terikkat dengan
batasan tertentu. Misalnya pinjaman barang yang dibatasi pada tempat dan jangka
waktu tertentu. Dengan demikian, jika pemilik barang mensyaratkan pembatasan
tersebut, berarti tidak ada pilihan lain bagi pihak peminjam kecuali pada objek
yang berharta, sehingga untuk mengadakan pinjam meminjam memerlukan adanya
syarat-syarat tertentu. Pembatasan bisa tidak berlaku apabila menyebabkan
musta’ir tidak dapat mengambil manfaat karena adanya syarat keterbatasan
tersebut. Dengan demikian dibolehkan untuk melanggar batasan tersebut apabila
terdapat kesulitan untuk memanfaatkan.
2.
Ariyah Mutlaqah
Yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang bermanfaat untuk dibatasi.
Melalui akad ariyah ini. Peminjam diberi kebebasan untuk memanfaatkan barang
pinjaman, meskipun tanpa ada pembatasan tertentu dari pemiliknya. Biasanya
ketika ada pihak yang membutuhkan pinjaman, pemilik barang sama sekali tidak
memberikan syarat tertentu terkait obyek yang akan dipinjamkan.[2]
5. Ketentuan Pinjam Meminjam
Para ulama berbeda pendapat mengenai hak
pemanfaatan pihak pinjaman terhadap barang yang di pinjamkan mu’ir kepadannya.
Jumhur ulama mengatakan, bahwa peminjam hanya boleh memanfaatkan benda yang dipinjamnya sesuai
dengan izin mu’ir.
Para ulama juga berbeda pendapat mengenai
kedudukan benda yang dipinjamkan oleh mu’ir kepada musta’it. Ulama hanafiyah
berpendapat bahwa barang yang dipinjamkan itu merupakan benda amanah di tangan
peminjam.
Para ulama juga berbeda pendapat mengenai hokum
menyewakan atau meminjamkan barang pinjaman kepada pihak lain. Ulama hanafiyah
dan malikiyah berpendapat bahwa peminjam boleh meminjamkan barang-barang pinjaman
kepada orang lain, sekalipun pemiliknya belum mengizinkan, jika penggunaanya
untuk hal-hal yang berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Ulama hanabilah
juga mempunyai pendapat yang sama dengan hanafiyah dan malikiyah yaitu bagi
peminjam dibolehkan untuk memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang
menggantikan statusnya, selama peminjaman berlangsung, kecuali jika barang
tersebut disewakan.
B.
Ketentuan Utang Piutang
1.
Pengertian hutang piutang
Hutang dikenal dengan istilah al –Qardh yang secara etimologi (bahasa)
berarti memotong sedangkan menurut syari bermakna memberikan harta dengan dasar
kasih sayang kepada sesama siapa saja yang membutuhkan dan akan dimanfaatkan
dengan benar, dan dia akan mengembalikan harta tersebut ( pada suatu saat
nanti) sesuai dengan padanannya kepada orang yang memberikannya.
2.
Syarat hutang piutang
1.
Harta yang dihutangkan adalah jelas dan murni halal
2.
Seseorang yang meminjami ( menghutangi ) adalah orang yang sah bila
memberi, sehingga tidak boleh seseorang wali yatim meminjamkan dari harta
yatim.
3.
Mengetahui jumlah harta yang dipinjamkan atau sifat barang yang
meminjamkan dari harta yatim
4.
Pihak yang piutang ( Peminjam) niatnya adalah untuk mendapat Ridho
Allah dengan mempergunakan yang dihutang dengan secara benar.
5.
Pemberi hutang tidak mengungkit-ungkit masalah hutang dan tidak
menyakiti pihak yang piutang ( yang meminjam)
6.
Harta yang dihutangkan tidak akan ( diharamkan) memberi kelebiahan
atau keuntungan atau adanya ambahan dalam mengembalian atau mensyaratkan
imbalan manfaat tertentu pada pihak yang mempiutangkan ( yang meminjam).[3]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar