A. Uraian Materi Konsep Hukum
Syar’i (Al-Hakim, Al-Hukum, Al-Mahkum Fiihi, Dan Al-Mahkum Alaih)
1.
Al-Hakim (Yang Menetapkan Hukum)
Al-Hakim (yang menetapkan hukum) adalah Allah Swt. dan yang memperkenalkan
hukum-hukum Allah serta yang menyampaikannya kepada manusia adalah para
Rasul-Nya. Kedudukan Al Hākim dalam hal ini
adalah Allah SWT adalah sebagai pembuat sekaligus yang menetapkan hukum untuk
dipatuhi oleh setiap mukallaf [1]
2.
Al-Hukmu (Hukum)
Definisi Hukum menurut ahli ushul fiqh adalah kitab Allah yang
berkaitan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan, atau
penetapan. Sedangkan menurut ahli fiqih (fuqaha’) adalah suatu karakter (sifat)
yang merupakan implikasi dari kitab tersebut. Dalam pengertian hukum, terdapat
perbedaan terminologi, para ahli ushul menjadikan hukum sebagai ilmu tentang
al-syari’, yang menuntut mukallaf untuk berbuat atau menyuruh memilih antara
berbuat atau tidak, atau kitab itu menjadi suatu sebab, syarat atau penghalang
atas sesuatu perbuatannya.
Adapun menurut para ahli fiqih (fuqaha’) hukum itu adalah sifat
yeng merupakan implikasi dari kitab tersebut, seperti kewajiban salat, petunjuk
untuk mencatat hutang, dan keharaman zina. Dari definisi tersebut menjadi jelas
bahwa hukum dibagi menjadi dua: hukum Taklifi dan hukum Wad’i.[2]
a.
Hukum Taklifi
Hukum taklifi yaitu firman Allah yang berhubungan
dengan perbuatan mukalaf yang menghendaki tuntutan untuk melakukan atau
menjauhi atau untuk membuat pilihan. Di namakan hukum taklīfī karena
adanya pembebanan atau tuntutan kepada manusia. Adapun macam- macamnya yaitu : [3]
1)
Ijab, yaitu tuntutan atas suatu perbuatan secara pasti dan tegas.
2)
Tahrim, yaitu tuntutan meninggalkan perbuatan secara pasti, dan ini
mereka namakan tahrim.
3)
Nadab, yaitu tuntutan untuk melakukan perbuatan secara tidak pasti,
dan ketidak pastian itu diambil dari indikator yang mengurangi tuntutan,
sehingga beralih dari pengertian wajib.
4)
Karahah, tuntutan meninggalkan suatu perbuatan secara tidak pasti
ketidak pastian itu juga diambil dari indikator yang mengurangi tuntutan
sehingga beralih dari tuntutan haram.
5)
Takhiyir, perbuatan yang diperintahkan oleh Allah untuk memilih
antara melakukan atau tidak.
b.
Hukum Wad’i
Hukum wad’i yaitu firman Allah yang berkaitan dengan perbuatan
mukallaf ada kalanya berupa tuntutan atau suruhan memilih, yaitu kitab taklif
(pembebanan). Ada kalanya Ia menjadi sesuatu sebagai sebab, syarat atau
penghalang, yaitu kitab tentang keadaannya atau wad’i.[4]
Dari pengertian di atas maka hukum waḍ’ī terbagi
menjadi sebab, syarat, dan mani’ namun sebagian ulama’ memasukan sah,
batal, azimah dan rukhsah sebagai bagian dari hukum waḍ’ī.[5]
1)
Sebab
Menurut bahasa sesuatu yang dapat mengakibatkan
sesuatu yang lain. Menurut istilah khitab Allah yang menjadikan sesuatu sebagai
sebab ada dan tidaknya suatu hukum. Contohnya, masuknya waktu shalat adalah
menyebabkan adanya pelaksanaan shalat
dengan tidak adanya masuknya waktu tidak akan ada pelaksanaan shalat. Macam-macam sebab yaitu sebagai berikut :
dengan tidak adanya masuknya waktu tidak akan ada pelaksanaan shalat. Macam-macam sebab yaitu sebagai berikut :
a)
Sebab yang termasuk hukum taklifi. Seperti melihat
hilal menjadi sebab wajibnya puasa ramadhan, mencuri sebagai sebab di
laksanakanya hukum potong tangan.
b)
Sebab yang menjadi penyebab adanya kepemilikan,
menjadi penyebab kehalalan dan menjadi penyebab hilangnya kehalalan, seperti
menjual adalah penyebab adanya kepemilikan, nikah menjadi penyebab adanya
kehalalan dan talaq menjadi penyebab hilangnya kehalalan.
c)
Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan
berada dalam kesanggupanya, seperti membunuh secara sengaja sebagai sebab
adanya hukum .
d)
Sebab yang merupakan suatu perkara yang bukan dari
perbuatan dan berada di luar kesanggupan mukallaf, seperti, kekerabatan
adalah sebab terjadinya saling mewarisi, bālig adalah sebab adanya taklīf.
2)
Syarat
Menurut Bahasa, syarat artinya sesuatu yang
menghendaki adanya sesuatu yang lain. Menurut istilah adanya sesuatu yang
mengakibatkan adanya hukum, dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak
ada pula hukum, namun dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya hukum,
atau sesuatu yang padanya tergantung keberadaan sesuatu yang lain dan berada di
luar hakekat sesuatu yang lain itu. Misalnya wudhu adalah syarat sah shalat,
dalam arti adanya shalat tergantung pada adanya wudhu namun wudhu itu sendiri
bukanlah merupakan bagian shalat.
3)
Māni’ (penghalang).
Māni’ yaitu sesuatu yang di tetapkan syariat sebagai penghalang bagi
adanya hukum. Māni’ terbagi menjadi 2 :
a)
Māni’ terhadap hukum yaitu sesuatu yang di tetapkan oleh syariat
sebagai penghalang bagi berlakunya hukum. Seperti haidh dan nifas adalah
māni’ atau penghalang wajibnya shalat meskipun
sebabnya ada yaitu masuknya waktu.
sebabnya ada yaitu masuknya waktu.
b)
Māni’ terhadap sebab yaitu sesuatu yang di tetapkan syariat sebagai
penghalang bagi berfungsinya suatu sebab, sehingga sebab itu tidak lagi
mempunyai akibat hukum. Seperti berhutang menjadi māni’ atau penghalang
wajibnya zakat karena tidak terwujudnya sebab yaitu kepemilikan satu nisāb.
4)
Sah
Sah yaitu suatu perbuatan yang di lakukan oleh mukallaf
dengan memenuhi syarat dan rukunya, contoh di dalam ibadah pelaksanaan shalat,
zakat, puasa, haji yang syarat dan rukunya terpenuhi. Contoh dalam muamalah
seperti nikah, jual beli, wakaf dsb apabila di lakukan sesuai dngan syarat dan
rukunya.
5)
Batal
Batal yaitu suatu perbuatan yang di lakukan oleh mukallaf
yang syarat dan rukunya tidak terpenuhi, seperti shalat yang syarat maupun
rukunya tidak terpenuhi.
6)
Rukhsah
Yaitu sesuatu yang dalam kondisi tertentu di
syariatkan dalam rangka memberikan keringanan terhadap mukallaf .
7)
Azimah
Yaitu hukum syara’ yang pokok dan berlaku untuk seluruh
mukallaf dan dalam semua keadaan dan waktu, misalnya, shalat fardhu lima waktu
sehari semalam, dan puasa pada bulan ramadhan
3.
Al-Mahkum Fiihi (Perbuatan Mukallaf)
Menurut para ulama’ Uṣūl yang dimaksud dengan Mahkūm
fīh adalah obyek hukum,yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait
dengan perintah syari’(Allah dan Rasul-Nya), baik yang bersifat tuntutan
mengerjakan; tuntutan meninggalkan; tuntutan memilih suatu pekerjaan.
Mukallaf harus mengetahui perbuatan yang akan di lakukan.sehingga perintah
dapat di laksanakan dengan sempurna sesuai dengan yang di inginka Allah. Maka
seorang mukallaf tidak tidak wajib melaksankan tuntutan yang belum
jelas. Seperti perintah shalat dalam Al Qur’an andaikan tata caranya tidak di
jelaskan oleh Rasulullah maka mukallaf tidak wajib mengerjakanya karena
perbuatanya dianggap tidak jelas[6]
4.
Al-Mahkum Alaihi (Mukallaf)
Mahkūm alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai hukum
Allah SWT atau disebut dengan mukallaf . Ada dua syarat yang harus dipenuhi agar seorang mukallaf dapat ditaklif yaitu mampu memahami tuntutan syara’ yang terkandung dalam Al qur’an dan sunnah baik langsung maupun melalui orang lain dan memiliki kemampuan atau kecakapan dalam melaksankan tuntutan Syariat yang dalam ushul fiqih disebut Ahliyyah[7]
Allah SWT atau disebut dengan mukallaf . Ada dua syarat yang harus dipenuhi agar seorang mukallaf dapat ditaklif yaitu mampu memahami tuntutan syara’ yang terkandung dalam Al qur’an dan sunnah baik langsung maupun melalui orang lain dan memiliki kemampuan atau kecakapan dalam melaksankan tuntutan Syariat yang dalam ushul fiqih disebut Ahliyyah[7]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar