A.
TEORI MASUKNYA ISLAM
1.
Teori Mekah
Menurut
teori Mekah, proses masuknya Islam ke Indonesia adalah langsung dari Mekah atau
Arab. Terjadipada abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 Masehi. Para pedagang
dari Timur Tengah memiliki misi dagang dan dakwah sekaligus. Bahkan motivasi
dakwah menjadi pendorong utama mereka datang ke Nusantara. Orangorang Arab yang
datang ini kebanyakan adalah keturunan Nabi Muhammad saw. yang menggunakan
gelar “sayid” atau “syarif” di depan namanya. Menurut para ahli sejarah, jalur
perdagangan antara Indonesia dengan Arab telah berlangsung jauh sebelum masehi.
2.
Teori Gujarat
Teori
Gujarat mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari
Gujarat pada abad ke-7 H atau abad ke-13 M. Gujarat adalah sebuah wilayah di
India bagian barat, berdekatan dengan Laut Arab. Menurut teori ini, orang-orang
Arab bermazhab Sya!’i telah bermukim di Gujarat dan Malabar sejak awal Hijriyah
(abad ke-7 Masehi). Namun yang menyebarkan Islam ke Indonesia bukanlah dari
orang Arab langsung, melainkan pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam dan
berdagang ke Nusantara. Orang-orang Gujarat telah lebih awal membuka hubungan
dagang dengan Indonesia dibanding dengan pedagang Arab
3.
Teori Persia
Teori
Persia mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari
daerah Persia atau Parsi (sekarang Iran). Sebagai buktinya, ada kesamaan budaya
dan tradisi yang berkembang antara masyarakat Parsi dan Indonesia. Tradisi
tersebut antara lain adalah tradisi merayakan 10 Muharram atau Asyuro.
4.
Teori Cina
Menurut
teori Cina, proses kedatangan Islam ke Indonesia (khususnya di tanah Jawa)
berasal dari para pedagang Cina. Mereka telah berhubungan dagang dengan
penduduk Indonesia jauh sebelum Islam dikenal di Indonesia, yakni sejak masa
Hindu-Buddha. Ajaran Islam sendiri telah sampai di Cina pada abad ke-7 M. Pada
masaDinasti Tang (618-960) di daerah Quanzhou, Kanton, Zhang-zhao, dan pesisir
Cina selatan, telah terdapat sejumlah pemukiman Islam. Sebagai pembuktian teori
Cina ini, bahwa raja Islam pertama di Jawa, yakni Raden Patah dari Bintoro
Demak, merupakan keturunan Cina. Ibunya disebutkan berasal dari Campa, Cina
bagian selatan (sekarang termasuk Vietnam). Bukti lainnya adalah adanya
masjid-masjid tua yang bernilai arsitektur Cina atau Tiongkok di berbagai
tempat di Pulau Jawa. Pelabuhan penting seperti di Gresik, misalnya, menurut
catatancatatan Cina, diduduki pertama kali oleh para pelaut dan pedagang Cina.
Semua
teori di atas masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri. Tidak
ada kemutlakan dan kepastian yang jelas dalam masing-masing teori tersebut.
Semua teori di atas semakin memperkaya khazanah keilmuan tentang sejarah Islam
di Nusantara.
Agama
Islam berkembang di Indonesia disebarkan oleh berbagai golongan, yakni para
pedagang, mubaligh, sufi, dan para wali. Para wali menyebarkan Islam di
Nusantara, khususnya di tanah Jawa. Di antara sekian banyak wali, yang terkenal
adalah Wali Sanga (Wali Sembilan). Berikut ini adalah nama-nama wali sanga.
1.
Sunan
Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maghribi, yang diduga berasal dari Persia dan
berkedudukan di Gresik.
2.
Sunan
Ampel atau Raden Rahmat, berkedudukan di Ampel, Surabaya.
3.
Sunan
Bonang atau Raden Maulana Makdum Ibrahim, putra dari Raden Rahmat (Sunan
Ampel). Ia tinggal di Bonang, dekat Tuban.
4.
Sunan
Giri atau Prabu Satmata atau Sultan Abdul Fakih yang semula bernama Raden Paku,
berkedudukan di Bukit Giri, dekat Gresik.
5.
Sunan
Drajat atau Syarifuddin, juga putra dari Sunan Ampel dan berkedudukan di
Drajat, dekat Sedayu, Surabaya.
6.
Sunan
Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah atau Syeikh Nurullah berasal dari Pasai,
sebelah utara Aceh yang berkedudukan di Gunung Jati, Cirebon.
7.
Sunan
Kudus atau Ja’far Sodiq, putra dari Raden Usman Haji yang bergelar Sunan
Ngandung di Jipang Panolan, berkedudukan di Kudus.
8.
Sunan
Kalijaga, nama aslinya Raden Mas Syahid. Beliau adalah putra Tumenggung
Wilatikta, Bupati Tuban yang berkedudukan di Kadilangu, dekat Demak.
9.
Sunan
Muria atau Raden Umar Said adalah putra dari Sunan Kalijaga berkedudukan di
Gunung Muria, Kudus.
B.
CARA DAKWAH DI NUSANTARA
1. Perdagangan
Proses
penyebaran Islam melalui jalur perdagangan dilakukan oleh para pedagang muslim
pada abad ke-7 sampai abad ke-16 M. Para pedagang tersebut berasal dari Arab,
Persia, dan India. Jalur perdagangan saat itu menghubungkan Asia Barat, Asia
Timur, dan Asia Tenggara. Para pedagang muslim menggunakan kesempatan itu untuk
berdakwah menyebarkan agama Islam. Mereka memiliki akhlak mulia, santun, dapat
dipercaya dan jujur. Hal inilah yang menjadi daya tarik sehingga banyak
penduduk Nusantara secara sukarela masuk Islam. Banyak pedagang muslim yang
singgah dan bertempat tinggal di Indonesia. Sebagian ada yang tinggal sementara
ada pula yang menetap di Indonesia. Lambat laun tempat tinggal mereka
berkembang menjadi perkampungan muslim.
2. Perkawinan
Sebagian
pedagang Islam tersebut ada yang menikah dengan wanita pribumi, terutama putrid
bangsawan atau putri raja. Dari pernikahan itu mereka mendapat keturunan.
Disebabkan pernikahan itulah banyak keluarga bangsawan atau raja masuk Islam,
sehingga para pedagang tersebut menetap dan membentuk perkampungan muslim yang
disebut Pekojan. Perkampungan Pekojan banyak dijumpai di beberapa kota di
Indonesia hingga saat ini.
3. Pendidikan
Para
mubaligh mendirikan lembaga pendidikan Islam di beberapa wilayah Nusantara.
Lembaga pendidikan Islam ini berdiri sejak pertama kali Islam masuk di
Indonesia. Nama lembaga-lembaga pendidikan Islam itu berbeda tiap daerah. Di
Aceh misalnya, lembaga-lembaga pendidikan Islam di sana dikenal dengan nama
meunasah, dayah, dan rangkang. Di Sumatera Barat dikenal adanya surau. Di
Kalimantan dikenal dengan nama langgar. Sementara di Jawa dikenal dengan pondok
pesantren. Di sanalah berlangsung pembinaan, pendidikan dan kaderisasi bagi
calon kiai dan ulama. Mereka tinggal di pondok atau asrama dalam jangka waktu
tertentu menurut tingkatan kelasnya. Setelah menamatkan pendidikan pesantren
mereka kembali ke kampung masing-masing untuk menyebarkan Islam. Melalui cara
inilah Islam terus berkembang menyebar ke daerah-daerah yang terpencil.
4. Hubungan Sosial
Para
mubaligh yang menyebarkan Islam di Nusantara pandai dalam menjalin hubungan
sosial dengan masyarakat. Mereka yang telah tinggal menetap di Nusantara aktif
membaur dengan masyarakat melalui kegiatan-kegiatan sosial. Sikap mereka
santun, memiliki kebersihan jasmani dan ruhani, memiliki kepandaian yang
tinggi, serta dermawan. Silaturahmi, bekerja sama, gotong-royong mereka lakukan
bersama penduduk Nusantara dengan tujuan menarik simpati agar masuk Islam. Pada
kesempatan tertentu mereka menyampaikan ajaran Islam dengan cara bijaksana,
tidak memaksa dan merendahkan. Islam mengajarkan persamaan hak dan derajat bagi
semua manusia karena kemulaian manusia tidak ditentukan oleh kastanya melainkan
karena ketakwaannya kepada Allah Swt. Islam juga mengajarkan umatnya untuk
saling membantu, yang kaya membantu yang miskin, yang kuat membantu yang lemah
dan saling meringankan beban orang lain. Dengan demikian ajaran Islam semakin
mudah diterima oleh penduduk Nusantara.
5. Kesenian
Sebelum
Islam datang, kesenian dan kebudayaan Hindu-Buddha telah mengakar kuat di
tengah-tengah masyarakat. Kesenian tersebut tidak dihilangkan tapi justru
digunakan sebagai sarana dakwah. Cabangcabang seni yang dikembangkan para
penyebar Islam di antaranya adalah seni bangunan, seni pahat dan ukir, seni
tari, seni musik dan seni sastra. Pada seni bangunan misalnya masjid, mimbar,
dan ukiran-ukirannya masih menunjukkan motifmotif seperti yang terdapat pada
candi-candi Hindu atau Buddha. Motif tersebut dapat dilihat pada Masjid Agung
Demak, Masjid Agung Kasepuhan di Cirebon, Masjid Agung Banten, dan Masjid
Baiturrahman di Aceh. Demikian pula dengan pertunjukan wayang kulit. Mereka
tidak pernah meminta upah untuk menggelar pertunjukkan, penonton atau
pengunjung gratis menyaksikan pertunjukkan tersebut. Penonton hanya diminta
agar mengikutinya mengucapkan “Dua Kalimat Syahadat”. Hal ini berarti para
penonton telah masuk Islam. Sebagian besar cerita wayang kulit dikutip dari
cerita Mahabharata dan Ramayana, namun sedikit demi sedikit dimasukkan
nilai-nilai ajaran Islam.
C.
KERAJAAN ISLAM NUSANTARA
1.
Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudera Pasai
yang terletak di pesisir timur laut Aceh, kabupaten Lhok Seumawe atau Aceh
Utara sekarang. Lahirnya kerajaan Islam yang pertama di Indonesia itu
diperkirakan mulai awal atau pertengahan abad ke-13 M. Sebagaimana diketahui
proses dakwah Islam di daerah-daerah pantai terjadi sejak abad ke-7 M. Kawasan
Aceh yang strategis dan berada di pintu masuk Selat Malaka menjadikan Aceh
sebagai tempat pertemuan para pedagang dari berbagai daerah di Nusantara dan
para pedagang dari luar negeri, khususnya para pedagang Islam. Oleh karena itu,
tidak mengherankan kalau pengaruh Islam sangat kuat di Aceh dan diwujudkan
dalam bentuk munculnya kerajaan Islam Samudra Pasai. Salah satu bukti
berdirinya kerajaan Samudera Pasai adalah adanya nisan kubur terbuat dari
granit asal Samudera Pasai. Dari nisan itu dapat diketahui bahwa raja pertama
Samudera Pasai, Sultan Malik Al- Saleh meninggal pada bulan Ramadan tahun 696 H
yang diperkirakan bertepatan dengan tahun 1297 M. Pada tahun 1521 M kerajaan
ini ditaklukkan oleh Portugis. Selanjutnya kerajaan Samudera Pasai mulai mundur
dan berada dibawah kekuasaan Kerajaan Aceh. Kerajaan Samudera Pasai berakhir
pada tahun 1524 M.
2.
Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan nama
Kabupaten Aceh Besar. Nama Aceh menanjak dengan cepat pada abad ke-17. Sejak
itu seluruh Aceh berada di bawah naungan Aceh Besar yang berpusat di Kutaraja.
Sultan pertama yang memerintah dan sekaligus sebagai pendiri Kerajaan Aceh
adalah Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528 M). Ali Mughayat Syah meluaskan
wilayah kekuasaannya ke daerah Pidie yang bekerja sama dengan Portugis,
kemudian ke Pasai pada tahun 1524 M. Dengan kemenangannya terhadap dua kerajaan
tersebut, Aceh dengan mudah melebarkan kekuasaannya ke Sumatera Timur. Peletak
dasar kebesaran kerajaan Aceh adalah Sultan Alauddin Riayat Syah yang bergelar
Al-Qahar. Berbeda dengan Sultan Ali Mughayat Syah yang bekerja sama dengan
Portugis, Sultan Alauddin Riayat Syah justru berusaha melawan Portugis. Dalam
menghadapi tentara Portugis, ia menjalin hubungan persahabatan dengan kerajaan
Turki Usmani dan kerajaan-kerajaan Islam lain di Indonesia.
Pada
masa pemerintahan Iskandar Muda, kerajaan Aceh mencapai puncak kekuasaannya.
Bandar Aceh dibuka menjadi pelabuhan internasional dengan jaminan pengamanan
gangguan laut dari kapal perang Portugis. Penaklukan demi penaklukan tidak
hanya dilakukan terhadap tanah Aceh dan sekitarnya, melainkan juga meluas jauh
ke luar Aceh. Ini menjadikan kekuasaan Aceh membentang dari daerah Deli sampai
dengan Semenanjung Malaka. Pada masanya Aceh menguasai seluruh pelabuhan di
pesisir Timur dan Barat Sumatera. Namun, usaha Aceh untuk menguasai Malaka yang
diduduki oleh Portugis berulang kali mengalami kegagalan. Bahkan untuk
mengalahkan Portugis, Sultan bekerja sama dengan musuh Portugis yaitu Belanda
dan Inggris. Pada masa Sultan Iskandar Muda itulah disusun suatu undang-undang
tentang tata pemerintahan yang disebut Adat Makuta Alam. Sultan Iskandar Muda
wafat pada tahun 1636 M dan digantikan oleh menantunya, yaitu Sultan Iskandar Tsani
(1636-1641 M). Masa pemerintahannya tidak lama karena ia tidak memiliki
kepribadian dan kecakapan yang kuat seperti Sultan Iskandar Muda. Penggantinya
adalah permaisurinya sendiri, yaitu putri Sultan Iskandar Muda yang bernama
Sya!atu’ddin.Sejak Sultan Iskandar Muda wafat, Aceh terus menerus mengalami
kemunduran.
3.
Kerajaan Demak
Kerajaan Demak terletak di Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Kerajaan
ini merupakan kerajaan Islam pertama dan terbesar di pesisir utara Jawa.
Wilayah Demak sebelumnya merupakan kadipaten dari kerajaan Majapahit. Kerajaan
ini tercatat menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan
Nusantara.
Kerajaan Demak didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478 M. Beliau
merupakan putra Prabu Kertabumi, seorang raja Majapahit. Setelah tahta ayahnya
jatuh ke tangan Girindra Wardhana dari Keling (Daha) dan Demak menjadi
terancam, terjadilah peperangan antara Demak dan Majapahit yang dipimpin oleh
Girindra Wardhana dan keturunannya, Prabu Udara, hingga tahun 1518 M. Majapahit
mengalami kekalahan dan pusat kekuasaan bergeser ke Demak. Sejak itu Demak
berkembang menjadi besar dan menguasai jalur perdagangan di Nusantara. Wilayah
kekuasaan Demak cukup luas, meliputi daerah sepanjang pantai utara Pulau Jawa,
sedangkan daerah pengaruhnya sampai ke Palembang, Jambi, Banjar dan Maluku.
Pada tahun 1518 M Raden Patah digantikan oleh putranya yang bernama
Pati Unus. Sebelum menduduki tahta, Pati Unus pernah memimpin armada laut Demak
dalam menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1513 M. Namun, penyerangan itu
gagal. Sekembalinya dari Malaka ia mendapat gelar Pangeran Sabrang Lor. Setelah
Pati Unus naik tahta, ia tidak mencoba lagi menyerang Malaka. Ia tetap
memperkuat pertahanan lautnya agar Portugis tidak masuk ke Jawa. Sikap
permusuhan Demak terhadap Portugis ternyata sangat merugikan Portugis dan
Bandar Malaka karena Demak tidak lagi mengirimkan barang-barang dagangannya ke
Malaka. Para pedagang dari negara lain juga enggan datang berdagang ke Bandar
Malaka. Kekuasaan Kerajaan Demak berakhir pada tahun 1568 M. Joko Tingkir
memindahkan pusat pemerintahan dari Demak ke Pajang, dan
di sana ia
mendirikan Kerajaan Pajang.
4.
Kerajaan Pajang
Kerajaan Pajang adalah penerus dari kerajaan Demak. Kesultanan yang
terletak di daerah Kartasura sekarang itu merupakan kerajaan Islam pertama yang
terletak di daerah pedalaman pulau Jawa. Sultan atau raja pertama kesultanan
ini adalah Jaka Tingkir yang berasal dari Pengging, di lereng Gunung Merapi.
Jaka Tingkir bergelar Sultan Hadiwijaya. Kedudukannya yang disahkan oleh Sunan
Giri, segera mendapat pengakuan dari adipati di seluruh Jawa Tengah dan Jawa
Timur.
Demak kemudian hanya menjadi kadipaten yang dipimpin oleh Arya
Pangiri, putra Sunan Prawoto. Pada waktu Sultan Hadiwijaya berkuasa di Pajang,
Ki Ageng Pemanahan diangkat menjadi bupati di Mataram (sekitar Kota Gede
Yogyakarta) sebagai imbalan atas keberhasilannya menumpas Aria Penangsang.
Sutawijaya putra Ki Ageng Pemanahan diambil anak angkat oleh Sultan Hadiwijaya.
Setelah Ki Ageng Pemanahan wafat pada tahun 1575 M, Sutawijaya diangkat menjadi
bupati di Mataram, yang terkenal dengan nama Panembahan Senopati. Ternyata ia
tidak puas menjadi bupati. Ia ingin menjadi raja yang menguasai seluruh Jawa.
Ia mulai memperkuat sistem pertahanan Mataram, baik dalam jumlah, kualitas
prajurit maupun persenjataannya. Hadiwijaya yang mengetahui hal itu segera
mengirimkan pasukannya ke Mataram.
Peperangan sengit terjadi pada tahun 1582 M. Namun, prajurit Pajang
menderita kekalahan besar. Sultan Hadiwijaya menderita sakit dan akhirnya
wafat. Setelah itu, terjadilah perebutan kekuasaan di antara para bangsawan.
Pangeran Pangiri (menantu Hadiwijaya yang menjabat Bupati Demak) datang
menyerbu Pajang untuk merebut tahta. Hal itu ditentang keras olah para
bangsawan Pajang yang bekerja sama dengan Sutawijaya dari Mataram. Akhimya,
Pangeran Pangiri beserta pengikutnya dapat dikalahkan dan diusir dari Pajang.
Setelah suasana aman, Pangeran Benowo (putra Hadiwijaya) menyerahkan tahta
kepada Sutawijaya. Sutawijaya kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke
Mataram (1586 M.). Sejak itu berdirilah Kerajaan Mataram. Pusat Kerajaan ini
terletak di sebelah tenggara kota Yogyakarta, yakni di Kotagede. Sutawijaya
kemudian bergelar Panembahan Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama,
sedangkan
Pangeran Benowo diangkat menjadi bupati Pajang.
5.
Kerajaan Mataram Islam (abad 17-19)
Kerajaan Mataram Islam berdiri pada tahun 1586 dan raja pertamanya
adalah Sutawijaya yang bergelar “Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama” artinya
Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama. Pusat Kerajaan ini
terletak di sebelah tenggara kota Yogyakarta, yakni di Kotagede. Kerajaan
Mataram mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan Agung
Hanyakrakusuma (1613-1645 M). Hal itu merupakan cerminan dari kebesaran jiwa,
keberanian, keuletan, dan kecakapan serta kuatnya kepribadian Sultan Agung. Ia
adalah seorang militer yang ulung, organisator yang berhasil, ahli politik,
ahli sastra, ahli !lsafat, dan sangat mementingkan urusan agama.
Dalam sejarah Islam, kesultanan mataram memiliki peran yang penting
dalam perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Hal ini terlihat
dari semangat raja-raja untuk memperluas daerah kekuasaan, dan mengislamkan
para penduduk daerah kekuasaannya, hingga mengembangkan kebudayaan yang
bercorak Islam di Jawa. Pada masa Sultan Agung banyak prestasi besar yang
dicapai, antara lain sebagaimana berikut:
a. Memperluas
daerah kekuasaannya meliputi Jawa-Madura (kecuali Banten dan Batavia),
Palembang, Jambi, dan Banjarmasin.
b. Mengatur
dan mengawasai wilayahnya yang luas itu langsung dari pemerintah pusatnya (Kota
Gede).
c. Melakukan
kegiatan ekonomi yang bercorak agraris dan maritim. Mataram adalah pengekspor
beras terbesar pada masa itu.
d. Melakukan
mobilisasi militer secara besar-besaran sehingga mampu menundukkan
daerah-daerah sepanjang pantai utara Jawa dan mampu menyerang Belanda di
Batavia sampai dua kali.
e. Mengubah
perhitungan tahun Jawa Hindu (Saka) dengan tahun Islam (Hijriah) yang
berdasarkan peredaran Bulan (sejak tahun 1633 M).
f. Menyusun
karya sastra yang cukup terkenal, yaitu Sastra Gending dan kitab suluk.
Misalnya Suluk Wujil (1607 M) yang berisi wejangan Sunan bonang kepada abdi
raja majapahit yang bernama Wujil
g. Menyusun
kitab undang-undang baru yang merupakan perpaduan dari hukum Islam dengan
adat-istiadat Jawa yang disebut Surya Alam.
6.
Kerajaan Banjar
Kerajaan
Banjar adalah kerajaan Islam di pulau Kalimantan, tepatnya di provinsi
Kalimantan Selatan saat ini. Pusat Kerajaan Banjar yang pertama adalah daerah
di sekitar Kuin Utara (Banjarmasin sekarang). Namun setelah keraton di Kuin
dihancurkan oleh Belanda, pusat kerajaan dipindahkan ke Martapura. Kerajaan ini
berdiri pada tahun 1526 M dengan Sultan Suriansyah (Raden Samudera) sebagai
Sultan pertama. Seiring dengan berjalannya waktu, kerajaan Banjar semakin
berkembang dan bertambah luas wilayahnya. Wilayah kekuasaan kerajaan Banjar
meliputi Banjarmasin, Martapura, Tanah Laut, Margasari, Amandit, Alai,
Marabahan, Banua Lima, serta daerah hulu sungai Barito. Wilayah kekuasaan Kerajaan
Banjar semakin luas hingga ke Tanah Bumbu, Pulau Laut, Pasir, Berau, Kutai,
Kotawaringin, Landak, Sukadana dan Sambas. Semua wilayah tersebut adalah
wilayah kerajaan Banjar (yang apabila dilihat dari peta zaman sekarang,
kerajaan Banjar menguasai hampir seluruh pulau kalimantan). Kerajaan Banjar
runtuh pada saat berakhirnya Perang Banjar pada tahun 1905M. Perang Banjar
merupakan peperangan melawan Belanda. Raja terakhir adalah Sultan Muhammad
Seman (1862 –1905M). Beliau wafat pada saat melakukan pertempuran dengan
Belanda di Puruk Cahu.
7.
Kerajaan Gowa-Tallo
Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang
dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi
pusat kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang- Parang, Data, Agangjene,
Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Kemudian semua komunitas bergabung dan
sepakat membentuk Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa adalah salah satu kerajaan besar
dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan.
Di Sulawesi Selatan pada awal abad ke-16 terdapat banyak kerajaan
bercorak Hindu, tetapi yang terkenal adalah Gowa, Tallao, Bone, Wajo, Soppeng,
dan Luwu. Pada tahun 1605 Sultan Alaudin (1591 – 1639 M) dari Gowa masuk Islam
berkat adanya dakwah dari Datuk Ri Bandang dan Sulaeman dari Minangkabau. Maka
sejak saat itu kerajaan Gowa resmi menjadi kerajaan Islam.
Islamnya raja Gowa segera
diikuti oleh rakyatnya. Kerajaan Gowa dan Tallo akhirnya dapat menguasai
kerajaan-kerajaan lainnya. Dua kerajaan itu lazim disebut Kerajaan Makassar.
Kerajaan Gowa mencapai puncak kejayaannya pada abad 16 yang lebih popular
dengan sebutan kerajaan kembar “Gowa- Tallo”. Dua kerajaan telah menyatakan
ikrar bersama, yang terkenal dalam pribahasa “Rua Karaeng Na Se’re Ata” (“Dua
Raja tetapai satu rakyat”). Oleh karena itu, kesatuan dua kerajaan itu disebut
Kerajaan Makassar. Dari Makassar, agama Islam disebarkan ke berbagai daerah,
bahkan sampai ke Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara
Timur.
Pada pertengahan abad ke-17 Makassar atau Gowa berada pada puncak
kejayaannya. Pada masa itu dapat dikatakan bahwa hampir seluruh daerah di
Indonesia bagian timur mulai Pulau Sangir Talaud sebelah utara, Kutai di bagian
barat, serta daerah Marege (Australia) di bagian selatan, sudah merasakan
pengaruh kekuasaan Kerajaan Gowa. Pemerintahan kerajaan Gowa mencapai puncaknya
terutama di bawah pemerintahan Manuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng
Lakiung Sultan Malikulsaid (1639-1653 M) atau lebih dikenal Sultan Malikussaid
(1639-1653 M). Kekuasaan dan pengaruh kerajaan Gowa semakin luas meliputi
seluruh wilayah Sulawesi Selatan, bahkan kawasan Timur Indonesia. Kerajaan Gowa
ketika itu telah mampu menjalin hubungan akrab dengan raja-raja di Nusantara.
Tidak hanya itu, bahkan Gowa juga menjalin hubungan internasional dengan
rajaraja dan pembesar dari negara luar, seperti Raja Inggris, Raja Kastilia di
Spanyol, Raja Portugis, Raja Muda Portugis di Gowa (India), Gubernur Spanyol
dan Mufti Besar Arabia.
Setelah memerintah kerajaan Gowa selama 16 tahun, tanggal 5 November
1653 Sultan Malikussaid wafat. Beliau digantikan oleh puteranya I Mallombasi
Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin yang menjadi raja Gowa XVI (1654-1660 M) atau
yang lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin. Sultan Hasanuddin bersikap tegas
dan tidak mau tunduk kepada Belanda. Pada tahun 1654-1655 M terjadi pertempuran
hebat antara kerajaan Gowa dan Belanda di kepulauan Maluku. Pada bulan April
1655 pasukan kerajaan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin menyerang Buton, dan
berhasil mendudukinya serta menewaskan semua tentara Belanda di negeri itu.
Setelah Belanda mengetahui bahwa Bandar Makassar cukup ramai dan
banyak menghasilkan beras, Belanda mulai mengirimkan utusannya ke Makassar
untuk membuka hubungan dagang. Utusan itu diterima baik dan Belanda sering datang
ke Makassar, tetapi hanya untuk berdagang. Setelah Belanda sering datang ke
Makassar, mereka mulai membujuk Sultan Hasanuddin untuk bersama-sama menyerbu
Banda (pusat rempah-rempah). Belanda juga menganjurkan agar Makassar tidak
menjual berasnya kepada Portugis. Namun, semua ajakan Belanda itu ditolak.
Antara Makassar dan Belanda sering terjadi konflik karena
persaingan dagang. Permusuhan Makassar dengan Belanda diawali dengan terjadinya
insiden penipuan pada tahun 1616 M. Saat itu para pembesar Makassar diundang
untuk suatu perjamuan di atas kapal VOC, tetapi temyata mereka dilucuti
sehingga terjadilah perkelahian seru yang menimbulkan banyak korban di pihak
Makassar. Sejak itu orang-orang Makassar membenci Belanda. Suatu ketika
orang-orang Makassar membunuh awak-awak kapal yang mendarat di Sumba.
Orang-orang Belanda pun juga sering menyerang perahu-perahu Makassar yang
berdagang ke Maluku. Keadaan semakin meruncing dan akhirnya pecah menjadi
perang terbuka. Dalam peperangan tersebut Belanda sering mengalami kesulitan
dalam menundukkan Makassar sehingga Belanda memperalat Aru Palaka (Raja Bone)
untuk mengalahkan Makassar.
8.
Kerajaan Ternate
Menurut catatan orang Portugis, raja di Maluku yang mula-mula
memeluk agama Islam adalah Raja Ternate, yaitu Gapi Baguna atau Sultan Marhum
yang masuk Islam karena menerima pengaruh dakwah dari Datuk Maulana Husin. Ia
memerintah tahun 1465-1485 M. Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya,
Zainal Abidin. Pada tahun 1495 M. Zainal Abidin mewakilkan pemerintahannya kepada
keluarganya karena ia memperdalam pengetahuan agama Islam kepada Sunan Giri dan
kemudian ke Malaka. Setelah kembali ke Ternate, Zainal Abidin sangat giat
menyebarkan agama Islam ke pulaupulau di sekitarnya, bahkan sampai ke Filipina
Selatan.
Di bawah pemerintahan Sultan Baabullah, Kerajaan Ternate mencapai
masa kejayaannya. Wilayah dan pengaruhnya sangat luas meliputi daerah Mindanau
(Filipina), seluruh kepulauan di Maluku, Papua, dan Timor. Karena wilayahnya
yang luas serta pelayaran dan perdagangannya yang maju, Sultan Baabullah
mendapat gelar Yang Dipertuan di 72 pulau. Untuk menjaga keamanan wilayahnya,
Ternate memiliki 100 kapal kora-kora. Bersamaan dengan itu, agama Islam juga
tersebar sangat luas. Kerajaan Ternate telah berhasil membangun armada laut
yang cukup kuat sehingga mampu melindungi wilayahnya yang cukup luas tersebut.
Setelah Sultan Baabullah wafat, kerajaan Ternate mulai melemah.
Pada tahun 1580 M. kerajaan Spanyol dan Portugal menyerang Ternate. Sultan Said
Barakati berhasil ditawan Spanyol dan dibuang ke Filipina. Kekalahan demi
kekalahan yang dialami memaksa Ternate meminta bantuan Belanda. Belanda
bersedia membantu dengan syarat VOC diberi hak monopoli perdagangan di Maluku.
Akhirnya kerajaan Ternate berhasil mengalahkan Spanyol namun dengan imbalan
yang sangat mahal. Belanda secara perlahan-lahan menguasai Ternate. Pada
tanggal 26 Juni 1607 M. Sultan Ternate menandatangani kontrak monopoli VOC di
Maluku. Pada tahun 1607 M. pula Belanda membangun benteng Oranje di Ternate
yang merupakan benteng pertama mereka di Nusantara.
Semakin lama kekuasan dan pengaruh Belanda di Ternate semakin kuat.
Bersamaan dengan itu pula terjadi pemberontakan dan kon!ik internal di kerajaan
Ternate, sehingga kerajaan Ternate mulai melemah dan dan akhirnya runtuh.
9.
Kerajaan Tidore
Kerajaan Tidore adalah kerajaan Islam yang berpusat di wilayah Kota
Tidore, Maluku Utara. Kerajaan Tidore terletak di sebelah selatan Ternate.
Menurut silsilah raja-raja Ternate dan Tidore, raja Tidore pertama adalah
Syahadati alias Muhammad Naqal yang naik tahta sekitar tahun 1081 M. Baru pada
raja yang ke-9, yaitu Cirililiati yang kembali ingin memeluk agama Islam,
berkat dakwah Syekh Mansur dari Arab. Setelah masuk Islam bersama para pembesar
kerajaan lainnya, ia mendapat gelar Sultan Jamaluddin. Putra sulungnya juga
masuk
Islam karena dakwah Syekh Mansur. Agama Islam masuk pertama kali di
Tidore sekitar tahun 1471 M. (menurut catatan Portugis).Setelah Ternate
berhasil meluaskan wilayahnya dan membentuk persekutuan yang disebut Uli Lima,
Kerajaan Tidore juga berhasil memperluas pengaruhnya ke Halmahera, Pulau Raja
Ampat, Seram Timur, dan Papua yang dipersatukan dalam persekutuan Uli Siwa.
Demikian juga Kerajaan Bacan dan Jailolo juga tenggelam dalam pengaruh Kerajaan
Tidore. Kerajaan Tidore merupakan penghasil cengkih yang besar dan sangat laku
di pasaran Eropa sehingga banyak bangsa Eropa yang datang ke Tidore untuk
mencari cengkih, misalnya bangsa Portugis, Spanyol, dan Belanda.
Kerajaan Tidore mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan
Sultan Nuku (1789-1805 M), yaitu seorang penguasa yang berani dan cerdas. Pada
tahun 1801 M. beliau menyerang Ternate sehingga Ternate dan Tidore berhasil
dipersatukan. Di samping itu, Sultan Nuku berhasil mengadu domba antara Belanda
dan Inggris sehingga Belanda dapat diusir dari Tidore. Setelah Belanda kalah
serta terusir dari Tidore dan Ternate, Inggris tidak mendapatkan apa-apa
kecuali hubungan dagang biasa. Sejak itu Tidore dan Ternate tidak diganggu,
baik oleh Portugis, Spanyol, dan Belanda maupun Inggris sehingga kemakmuran
rakyatnya terus meningkat. Pelayaran dan perdagangan maju pesat sehingga waktu
itu Maluku mengalami zaman keemasan dan tidak terikat oleh bangsa mana pun.
Wilayahnya cukup luas yaitu meliputi Seram, Halmahera, Kepulauan Kai, dan
Papua. Pengganti Sultan Nuku adalah adiknya sendiri, Zainal Abidin (1805-1810
M.).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar