A. Uraian Materi Sumber Hukum Islam Muttafaq Dan
Mukhtalaf
1. Sumber Hukum Islam (Muttafaq)
Sumber hukum yang Muttafaq
adalah sumber hukum Islam yang telah disepakati oleh seluruh umat Islam. Berikut
adalah sumber-sumber hukum Islam yang Muttafaq:
a.
Al-Qur’an
Menurut bahasa, kata al-Qur’an adalah bentuk isim masdar
dari kata “qa-ra-a” yang berarti membaca yaitu kata “qur-a-nan”
yang berarti yang dibaca. al-Qur’an merupakan nama kitab suci
Allah Swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. dengan perantara malaikat
jibril. Dalam segi termenologi, al-Qur’an
adalah kalam Allah berbahasa arab yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw
dengan perantaraan Malaikat Jibril serta diriwayatkan secara mutawatir dan
tertulis dalam mushaf. Sebagaimana firman Allah swt.:[1]
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ
لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ
خَصِيمًا (١٠٥)
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu
dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang
telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang
tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat” (QS. An Nisa’ : 105)
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Untuk disampaikan
kepada umat manusia, sudah barang tentu memiliki sekian banyak fungsi, baik
bagi Nabi Muhammad itu sendiri maupun bagi kehidupan manusia secara
keseluruhan. Di antara
fungsi al-Qur’an adalah sebagai bukti kerasulan Muhammad dan kebenaran
ajarannya, petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia.[2]
Kedudukan al-Qur’an merupakan satu-satunya sumber yang pertama dan paling utama dalam hukum-Islam, sebelum sumber-sumber hukum
yang lain. Sebab al-Qur’an merupakan Undang-Undang Dasar tertinggi bagi umat Islam,
sehingga semua hukum dan sumber hukum tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an.
Adapun sifat al-Qur’an dalam menetapkan hukum yaitu sebagai berikut :
1) Tidak memberatkan atau menyusahkan.
Misalnya, mengqasar shalat, tidak berpuasa karena
musafir, bertayamum sebagai ganti air wudhu.
2) Tidak memperbanyak beban/tuntutan
Misalnya, zakat karena hanya diwajibkan bagi
orang-orang yang mampu saja.
3) Berangsur-angsur di dalam mensyari’atkan
sesuatu
Misalnya, pengharaman minuman keras prosesnya sampai tiga kali, kemudian
diputuskan tidakp boleh.[3]
b. Al-Hadis
Hadis/sunnah secara etemologi berati cara yang dibiasakan atau cara yang
terpuji, sunah lebih umum atau disebut dengan hadis yang mempunyai beberapa
arti secara etemologis, yaitu, Qarib,
artinya dekat, jadid artinya baru,
dan khabar artinya berita atau warta. Dari
beberapa arti tersebut, yang sesuai dengan pembahasan ini adalah hadis dalam
arti khabar.[4]
Hadis
merupakan segala hal yang disandarkan kepada Nabi SAW. yang dijadikan dasar untuk menentukan hukum dalam ajaran Islam. Hal
ini dikarenakan Nabi SAW adalah sosok yang mulia dan menjadi suri tauladan bagi umat
manusia. Para ulama ahli ushul fiqih, menjadikan hadis untuk menentukan
hukum Islam setelah tidak ditemukan keterangan dalam Alquran. Oleh karena itu, para ulama sepakat menempatkan hadis sebagai sumber pokok ajaran setelah
Al Qur’an. Adapun
fungsi hadis terhadap al-Qur’an adalah sebagai berikut: [5]
1) Bayan
Taqrir
Hadis/sunnah berfungsi untuk menguatkan atau menggaris bawahi
maksud redaksi wahyu (Al Qur’an). Bayan Taqrir disebut juga Bayan
Ta’kid atau Bayan Isbat.
2) Bayan
Tafsir
Hadis/sunnah berfungsi menjelaskan atau memberikan keterangan
atau menafsirkan redaksi Al Qur’an, merinci keterangan Al Qur’an yang bersifat global (umum) dan bahkan membatasi pengertian lahir dari teks Al Qur’an atau mengkhususkan (takhsis)
terhadap redaksi ayat yang masih bersifat umum.
3) Bayan
Tasyri’
Hadis/sunnah berfungsi untuk menetapkan hukum yang tidak dijelaskan
oleh Al Qur’an. Hal ini dilakukan atas inisiatif Nabi SAW Atas
berkembangnya permasalahan sejalan dengan luasnya daerah penyebaran Islam dan beragamnya
pemikiran para pemeluk Islam.
Inisiatif Nabi SAW yang didasarkan pada Alquran, membuat umat Islam mentaati segala perkataan, perbuatan dan ketetapan-ketetapannya. Nabi SAW senantiasa berusaha menjelaskan dan menjawab pertanyaan beberapa sahabat tentang berbagai hal yang tidak diketahuinya berdasarkan petunjuk Allah SWT. Meskipun pada mulanya dari inisiatif beliau.
Inisiatif Nabi SAW yang didasarkan pada Alquran, membuat umat Islam mentaati segala perkataan, perbuatan dan ketetapan-ketetapannya. Nabi SAW senantiasa berusaha menjelaskan dan menjawab pertanyaan beberapa sahabat tentang berbagai hal yang tidak diketahuinya berdasarkan petunjuk Allah SWT. Meskipun pada mulanya dari inisiatif beliau.
c Ijma’
Pengertian Ijma’ secara etimologi ada dua macam, yaitu Ijma’
berarti kesepakatan atau konsensus dan ijma’ berarti tekad atau niat Adapun
pengertian ijma’ secara terminologi, ada beberapa rumusan ijma’ yang
dikemukakan para ulama ushul fiqih. Ibrahim Ibn Siyar Al-Nazzam, seorang tokoh Mu’tazila, merumuskan ijma’ dengan
setiap pendapat yang didukung oleh hujjah, sekalipun pendapat itu muncul dari
seseorang. “Akan tetapi rumusan Al-Nazzam ini tidak sejalan dengan pengertian
etimologi di atas.
Imam Al-Gazali merumuskan ijma’ dengan “kesepakatan umat Muhammad
secara khusus tentang suatu masalah agama.” Rumusan Al-Gazali ini memberikan
batasan bahwa ijma’ harus dilakukan oleh umat Muhammad Saw., yaitu seluruh umat
Islam, termasuk orang awam. Al-Gazali pun tidak memasukkan dalam definisinya
bahwa berijma’ harus dilakukan setelah wafatnya Rasulullah Saw. Alasannya,
karena pada masa Rasulullah, ijma’ tidak diperlukan, sebab keberadaan
Rasulullah Saw. sebagai syari’ (penentu atau pembuat hukum) tidak memerlukan
ijma’. Adapun rukun ijma’ adalah sebagai berikut[6] :
1)
Yang terlibat yang terlibat dalam hukum pembahasan syara’ melalui
ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid. Apabila ada diantara mereka mujtahid
yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil, maka hukum yang dihasilkan itu
tidak dinamakan hukum ijma’
2)
Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu
adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia
islam.
3)
Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid
mengemikakan pandangannya.
4)
Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’ yang
bersifat actual dan tidaka ada hukumnya secara rinci dalam Al-Qur’an.
5)
Sandaran hukum ijma’ tersebut haruslah al-Qur’an dan
atau hadis Rasulullah SAW
Seorang dapat disebut sebagai seorang Mujtahid
apabila sekurang-kurangnya memenuhi tiga syarat sebagai berikut:
1) Memiliki
pengetahuan dasar berkaitan dengan,
2) Al
Qur’an.
3) Sunnah.
4) Masalah
Ijma’ sebelumnya.
5) Memiliki
pengetahuan tentang ushul fikih.
6) Menguasai
ilmu bahasa Arab.
Al Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di
atas, yaitu memiliki pengetahuan tentang maqasid al Syariah (tujuan syariat).
Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali
menguasai dua hal: pertama, ia harus mampu memahami maqasid al syariah secara
sempurna, kedua ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan
pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al Syariah.[7]
Dilihat dari segi terjadinyaa ijma’ dapat
dibagi menjadi dua bagian:
1) Ijma’ sharih/qauli/bayani,
yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa
ucapan atau tulisan, seperti hokum masalah ini halal dan tidak haram.
2) Ijma’ sukuti,
yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan hukum suatu masalah,
kesepakatan yang mendapat tantangan
(hambatan) diantara mereka atau salah seorang diantara mereka tenang
(diam) dalam mengambil suatu keputusan. Tentang
ijma’ sukuti, ulama berbeda pendapat
bolehkah ijma’ sukuti menjadi hujjah atau tidak: [8]
a)
Imam syafi’i dan sebagian ulama-ulama Hanafi, seperti Ibnu Iyan dan
Imam Al-Baqillani dari golongan Asy’ariyah menyatakan, bahwa ijma’ sukuti tidak dapat menjadi hujjah
sebab kemungkinan ada ulama yang tidak setuju atau ada pula yang setuju.
b)
Ulama lain seperti Al-Juba’i, ijma’ sukuti tetap menganggapnya
hujjah, sebagaimana halnya ijma’qauli/amali.
c)
Imam Al-Amidi mengambil jalan tengah ia mengatakan ijma’ sukuti
hukumnya zhanni dan kehujjaannya
dzahiri bukan qath’I
Dilihat dari segi terjadinyaa ijma’ dapat dibagi menjadi dua bagian:
1) Ijma’ qath’i,
yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan hukum suatu masalah tanpa
ada banthan diatara mereka, ijma’ qath’i ini dapat dijadikan dalil (alasan)
dalam menetapkan hukum suatu masalah.
2) Ijma’ zhanni, yaitu hukum yang dihasilkan
ijma’ itu dzanni, masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau
kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau
dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.
d.
Qiyas
Menurut bahasa, Qiyas artinya ukuran atau mengukur, mengetahui ukuran
sesuatu, atau menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dengan
demikian, qiyas diartikan mengukur
seuatu atas yang lain, agar diketahui persamaan antara keduanya. Sedangkan
secara terminologi, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ahli ushul
fiqih dengan redaksi yang berbeda sesuai dengan pandangan masing-masing, namun
mengandung pengertian yang sama. Rukun Qiyas, yaitu sebagai berikut:[9]
1)
Asal, menurut para ahli ushul fiqih, merupakan objek yang telah
ditetapkan hukumny oleh ayat-ayat
al-Qur’an, hadis Rasulullah SAW.
atau ijma’. Misalnya pengharaman wisky dengan mengqiyaskannya kepada khamar, maka
yang ashl itu adalah khamar, yang telah ditetapkan hukumnya dalam nash.
2)
Far’u (cabang), adalah yaitu sesuatu
yang belum terdapat nash hukumnya (al-maqîs), karena tidak terdapat
dalil nash atau ijma’ yang menjelaskan hukumnya
3)
illat, adalah sifat yang didasarkan
atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya
4)
al-ashl, adalah hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya. Atau hukum syar’i yang ada dalam nash atau ijma’,
yang terdapat dalam al ashlu.
1)
Qiyas Aula, yaitu suatu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya
hukum dan yang disamakan (mulhaq) dan mempunyai hukum yang lebih utama dari
pada tempat menyamakannya (mulhak bih).
2)
Qiyas Musawi yaitu suatu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya
hukum dan illat hukum yang terdapat pada mulhaq bih. Misalnya, merusak benda
anak yatim
3)
Qiyas adna adalah qiyas yang illat pada furu’ lebih rendah daripada illat
yang
terdapat pada ashal. Misalnya mengqiyaskan haramnya
perak bagi laki-laki dengan haramnya laki-laki memakai emas. Yang menjadi illatnya adalah
untuk berbangga-bangga. Bila menggunakan perak merasa bangga apalagi menggunakan
emas akan lebih bangga lagi.
a)
Qiyas Jalli adalah qiyas yang illatnya ditetapkan oleh nash bersamaan
dengan
hukum ashal. Nash tidak menetapkan illatnya
tetapi dipastikan bahwa tidak ada pengaruh terhadap perbedaan antara nash dengan furu’. Misalnya mengqiyaskan budak perempuan dengan budak
laki-laki dan mengqiyaskan setiap minuman yang memabukkan dengan
larangan meminum khamr yang sudah ada nashnya.
b)
Qiyas Khafi adalah qiyas yang illatnya tidak terdapat dalam nash. Misalnya mengqiyaskan pembunuhan menggunakan alat berat dengan
pembunuhan menggunakan benda tajam.
Dilihat dari segi persamaan furu’ dengan ashal, qiyas
dibagi menjadi 2 macam yaitu : qiyas syabah dan qiyas ma’na.
Adapun uraiannya adalah sebagai berikut :[12]
a)
Qiyas syabah adalah qiyas furu’nya dapat diqiyaskan
dengan duaashal atau lebih. Tetapi diambil ashal yang lebih banyak persamaannya
dengan furu’. Misalnya zakat profesi yang dapat diqiyaskan dengan zakat
perdagangan dan pertanian.
b)
Qiyas Ma’na adalah qiyas yang furu’nya hanya disandarkan pada
ashal yang satu. Jadi korelasi antara keduanya sudah sangat jelas. Misalnya
mengqiyaskan memukul orang tua dengan perkataan “ah” seperti yang ada dalam
nash pada penjelasan sebelumnya. Jadi secara keseluruhan macam-macam qiyas
terebut ada tujuh yaitu : qiyas aulawi, qiyas musawi, qiyas adna,
qiyas jalli, qiyas khafi, qiyas syabah, dan qiyas ma’na
1
Sumber Hukum Islam (Mukhtalaf)
a. Istiḥsān
Menurut bahasa, istiḥsān berarti menganggap
baik sesuatu dan meyakininya. Menurut istilah ulama uṣūl fiqih, istiḥsān
adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan hukum yang di kehendaki
qiyās jalli (jelas) kepada ketentuan hukum yang di kehendaki oleh qiyās
khafi (samar) atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum istisna’ (pengecualian),
karena ada dalil yang menuntut demikian. Qiyās khafi menurut kalangan
Hanafiyah adalah istiḥsān. Disebut istiḥsān karena seorang mujtahid
menganggap bahwa perpindahan penerapan metode dalil dari qiyās jalli ke
qiyās khafi adalah lebih baik. Dari segi pengambilan dalil Istiḥsān terbagi
dalam beberapa bentuk:[13]
1)
Istiḥsān dengan qiyās khafi
Penerapan Istiḥsān dengan qiyās khafi ialah
pencetusan hukum melalui perenungan serta penelitian mendalam karena dalam satu
kasus terdapat dua dalil yaitu qiyās jalli dan qiyās khafi yang
masing-masing mempunyai konsekwensi hukum sendiri-sendiri. Kemudian dalam
penetapan hukum dilakukan penunggulan pada dalil yang dianggap lebih sesuai dengan
permasalahan. Contohnya: air sisa minuman burung buas seperti burung elang,
rajawali, dan lain sebagainya. Dalam menentukan status kesucian air
tersebut terdapat pertentangan antara qiyās dan istiḥsān
2)
Istiḥsān dengan nas
Maksudnya adalah meninggalkan ketentuan nash yang
umum beralih ke hukum nash yang khusus. Contoh dari istiḥsān dengan al qur’an : di perbolehkanya
wasiat. Secara qiyas (kaidah umum) pelaksanaan wasiat tidak di perbolehkan
karena menyalahi kaidah umum yaitu dalam wasiat terdapat pengalihan hak milik
setelah status kepemilkannya hilang, yaitu dengan meningggalnya pemilik hak.
Namun kaidah ini mengalami pengecualian dengan adanya dalil atau nas dari al
qur’an
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ
دَيْنٍ ……(١١)
Artinya : “Pembagian-pembagian tersebut di atas sesudah di
penuhi wasiat yang ia buat dan sesudah di bayar hutangnya” ( QS An Nisa’ : 11)
Contoh
dari istiḥsān dengan sunnah : di perbolehkanya akad salam (pemesanan). Kaidah umum mengeasksan pelaraganya, karena ia adalah
sebagian dari bentuk transaksi penjualan barang yang belum wujud. Namun akad salam
dikecualikan dari penerapan kaidah tersebut berdasrkan hadis yang secara khusu
memperbolehkanya yaitu,
مَنْ أَسْلَفَ فِي ثَمَرٍ فَلْيُسْلِفْ
فِى كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْمٍ (متفق عليه)
Artinya : ”Barang siapa melakukan akad pemesanan
buah, maka pesanlah dengan kadar takaran yang jelas, dan batas waktu
yang jelas juga.” (HR Bukhari Muslim).
3) Istiḥsān
dengan ijma’
Maksudnya adalah fatwa ulama’ tentang suatu hukum
dalam permaslahan kontemporer yang menyalahi hasil penerapan qiyas atau kaidah
umum. Contoh akad istisna’ (kontrak kerja pertukangan) yaitu satu pihak
meakukan kontrak kerja dengan pihak lain untuk membuat suatu barang dengan
imbalan tertentu. Dengan metode qiyās kontrak kerja semacam ini tidak sah
karena ketika kesepakatan kontrak terjadi ma’qud alaih tidak ada. Namun akad
semacam ini di perbolehkan karena masyarakat terbiasa melakukannya dan tidak
ada seorangpun ulama’ yang mengingkarinya. Karena nya hal seperti ini dianggap
sebagai ijma’.
4) Istiḥsān
dengan darurat
Yaitu
apabila dengan menggunakan qiyās atau kaidah umum dipastikan akan berdampak
pada kesulitan atau kesempitan. Kemudian untuk menghilangkan kesulitan tersebut
diberlakukanlah pengecualian dengan alasan darurat. Contoh penyucian sumur atau
telaga yang terkena najis. Dengan metode qiyās telaga atau sumur tidak dapat
disucikan dengan menguras sebagaian atau keseluruhan air. Karena persentuhannya
dengan dinding sumur yang terkena najis. Menurut ulama’ Hanafi cara
mensucikanya adalah dengan menguras samapai pada kadar tertentu disesuaikan
dengan jenis najis dan besar kecilnya sumur atau telaga.
5) Istiḥsān
dengan dengan maslaha
Yaitu
apabila qiyās atau kaidah umum diterapkan akan mengakibatkan mafsadah
(kerugian) atau tidak tercapainya maslaha yang dituju. Kemudian istihsan di
berlakuakan untuk dapat mewujudkan kemaslahatan. Contoh: fatwa Abu Hanifah yang
memperbolehkan pemberian zakat pada Bani Hasyim keturunan Rasulullah karena
pertimbangan situsi masa itu. Ini bertentangan dengan kaidah umum yang
menyatakan bahwa keluarga dan keturunan nabi tidak berhak mendapatkan zakat.
Namun dengan istihsan diperbolehkan karena ada beberapa pertimbangan pada saat
itu di mana keluarga rasul kerap mengalami penganiayaan dari rezim penguasa.
6) Istiḥsān
dengan urf
Maksudnya adalah berpindah dari penerapan qiyās atau
kadiah umum dengan memandang tradisi yang berlaku. Contoh diperbolehkannya jasa
toilet umum tanpa ada kepastian berapa lama dan berapa banyak air yang
digunakan dengan imbalan jasa pembayaran tarif yang telah di tentukan. Menurut
kaidah umum tidak diperbolehkan karena ma’qud alaihnya tidak jelas begitu pula
batas waktunya. Tetapi secara istihsan diperbolehkan karena sudah secara adat
sudah dilakukan dan tidak ada seorang ulama’pun yang mengingkari.
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai dijadikannya istiḥsān
sebagai sumber hukum. Menurut Ulama Hanafi, Maliki dan Hanbali istiḥsān bisa
dijadikan sebagai sumber hukum. Alasan mereka istiḥsān adalah
meninggalkan perkara yang sulit beralih ke perkara yang mudah di mana hal itu
merupakan dasar dari agama sebagaimana firman Allah:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا
يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ …..(١٨٥)
Artinya : ”Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu”. ( QS Al Baqarah :185).
Dan hadis nabi Saw.:
مَا رَاهُ المُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ الله حَسَن (رواه
أحمد)
Artinya : “Apa
yang dipandang baik oleh orang-orang Islam, maka ia adalah baik di sisi Allah” ( HR Ahmad).
Menurut ulama Syafi’i, Zahiriyah, Mu’tazilah dan
Syiah berpendapat bahwa istiḥsān tidak
bisa dijadikan sebagai dasar hukum, mereka beralasan: [14]
1) Bahwa
Rasulullah saw tidak pernah meminta para sahabat melakukan istiḥsān.
2) Sandaran
yang digunakan dalam melakukan istiḥsān adalah akal sehingga tidak ada bedanya antara orang alim dan oang jahil (bodoh),
keduanya sama-sama bisa melakukan istiḥsān. Jika
semua orang diperbolehkan melakukan istiḥsān maka masing-masing
orang akan membuat syariat baru
Namun
kalau diteliti lebih dalam, ternyata pengertian istiḥsān menurut
pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istiḥsān menurut
pendapat Madzhab Syafi’i. Menurut Madzhab
Hanafi istiḥsān itu semacam qiyās, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang
menurut Madzhab Syafi’i, istiḥsān itu timbul karena
rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. Maka
seandainya istiḥsān itu diperbincangkan dengan
baik, kemudian ditetapkan pengertian yang
disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi.
b. Maslahah Mursalah
Maslahah
Mursalah menurut lugat terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Kata maslahah berarti sesuatu yang
mendatangkan kebaikan. Sedangkan kata mursalah berasal dari kata kerja yang ditasrifkan sehingga menjadi isism
maf’ul, yang berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan
dua kata menjadi “maslahah mursalah” yang berarti prinsip kemaslahatan
(kebaikan) yang dipergunakan suatu hukum Islam. Juga dapat berarti, suatu
perbuatan yang mengandung nilai baik (bermanfaat). Menurut imam Al-Ghazali maslahah pada dasarnya ialah
meraih manfaat dan menolak madarat.[15]
Dalam
kehujjahan maslahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama
ushul, diantaranya :[16]
1) Maslahah
mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalil menurut ulama-ulama syafi’iyyah,
hanafiyah.
2) Menurut
ulama’ Maliki dan Hanbali maslahah mursalah dapat digunakan sebagai hujjah
dalam menetapkan hukum. Mereka beralasan bahwa kemaslahatan manusia itu
setiap waktu berkembang dan beraneka ragam sehingga butuh adanya kepastian
hukum. Jika maslahah tidak bisa dijadikan sebagai hujjah maka
akan banyak peristiwa yang tidak diketahui hukumnya
Kelompok
yang menggunakan maslahah mursalah sebagai hujjah tidak begitu saja
menggunakanya tetapi menetapkan persyaratan yang cukup ketat diantaranya Maslahah
itu harus bersifat riil dan umum, bukan maslahah yang bersifat perorangan.
dan juga harus dapat diterima akal sehat
dengan dugaan kuat bahwa maslahah itu benar-benar mendatangkan manfaat secara
utuh dan menyeluruh. Maslahah ini juga harus sejalan dengan tujuan syara’
dan tidak berbenturan dengan prinsip dalil syara’ yang telah ada, seperti
nas dan ijmak.
c. Istishab
Istishab ialah istilah,
menetapkan hukum yang telah ada pada masa lalu hingga ada dalil atau bukti yang
merubahnya. Contoh: seseorang yang memiliki wudhu lalu muncul keraguan apakah
wudhunya sudah batal ataukah belum, dalam kondisi seperti ini ia harus
berpegang pada belum batal karena hukum yang telah ada atau hukum asal ia masih
punya wudhu sebelum ada bukti jelas kalau wudhunya telah batal.[17]
Menurut
ulama’ Mazhab Syafii bahwa istisḥāb bisa dijadikan sebagai
hujjah. Sedangkan menurut ulama’ Hanafi istisḥāb tidak bisa
dijadikan sebagai hujjah. Adapun kaidah yang berkaitan dengan istishab yaitu:[18]
1) (الأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّة), hukum asal bahwa seseorang tidak
mempunyai tanggungan terhadap orang lain. Contohya, jika ia masih kecil, maka
ia bebas sebelum sampai baligh.
2) (الأَصْلُ فِى الأَشْيَاء الإِبَاحَة), hukum asal segala
sesuatu adalah mubah. Contohnya, Setiap makanan dan minuman yang tidak
ditetapkan oleh suatu dalil tentang keharamannya, maka hukumnya mubah.
3) (اليَقِيْنُ لاَيُزَالُ بِالشَّكِّ), keyakinan tidak hilang dengan munculnya
keragu-raguan. Contohnya, Seorang yang ragu, apakah wudhunya sudah batal atau
belum, maka berdasar istishab wudhunya belum batal, karena yang diyakini dia
sudah berwudhu.
4) (الأَصْلُ بَقَاءُ مَاكَانَ عَلَى مَاكَانَ), hukum asal segala
sesuatu adalah kembali pada hukum awalnya. Contohnya, sesorang masih tetap
bertanggung jawab terhadap utang, sebelum ada petunjuk bahwa sudah dilunasi.
d.
‘Urf
‘Urf ialah apa yang sudah terkenal di kalangan umat
manusia dan selalu diikuti, baik perkataan maupun perbuatan. Para ulama sepakat
bahwa ‘urf merupakan salah satu dalil untuk menetapkan hukum. Mereka
beralasan dengan firman Allah:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ
وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ (١٩٩)
Artinya
:“Jadilah engkau seorang pemaaf dan suruhlah orang menerjakan yang ma’ruf
dan berpalinglah dari orang-orang bodoh” ( QS Al A’raf : 199).
Kata
al ‘urf dalam ayat di atas secara harfiah yaitu sesuatu yang dianggap
baik dannpantas. Dari makna harfiah di atas maka para ulama’ menjadikanya
sebagai sumber hukum. Adapun ‘urf jika dilihat dari segi sumbernya,
dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu :[19]
1) ‘Urf
perbuatan, seperti jual-beli dengan saling memberikan uang dan barang, tanpa
menggunakan akad.
2) ‘Urf
qauli, seperti kebiasaan menggunakan kata “daging” pada selain daging ikan.
Dilihat dari ruang lingkup penggunaannya, ‘urf juga
dibagi menjadi dua macam, yaitu :[20]
1) ‘Urf
Am (Umum),seperti
menganggukkan kepala pertanda setuju
2) ‘Urf
khas (Khusus), seperti
penggunaan kata- kata “kendaraan” untuk himar di suatu negeri dan kuda di
negeri lainnya.
Ditinjau dari baik dan buruknya menurut syariat, ‘urf
terbagi menjadi dua macam yaitu :[21]
1) ‘Urf
Saḥīh, adat
kebiasaan yang tidak bertentangan dengan norma agama, seperti memberikan hadiah
kepada orang tua.
2) ‘Urf
Fāsid,
kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama, seperti melakuakan transaksi
yang berbau riba.
e. Saddzu Dzari’ah
Saddz berarti menutup, mengunci, mencegah. Zarī’ah menurut
bahasa adalah perantara, sarana, atau ajakan menuju sesuatu secara umum. Tetapi
lazimnya kata zarī’ah digunakan untuk “jalan yang menuju kepada hal yang
membahayakan”. Menurut istilah syara’, adalah “Sesuatu yang secara lahiriah
hukumnya boleh, namun hal itu akan menuju kepada hal-hal yang dilarang”.
Contoh, melakukan permainan yang berbau judi tanpa taruhan dilarang karena
dikawatirkan akan terjerumus kedalam perjudian.
Perbuatan mubah yang apabila dilakukan bisa
menjerumuskan kepada kemaksiatan, terbagi menjadi dua. Pertama, kecil
kemungkinan menjerumuskan ke dalam kemaksiatan seperti melihat wanita yang dikhitbah.
Dalam hal ini para ulama’ sepakat akan kebolehannya. Kedua, besar kemungkinan
menjerumuskan ke dalam kemaksiatan. Seperti menjual senjata pada saat ada
perkelahian. Ketiga, menjerumuskan ke dalam kemaksiatan jika diselewengkan,
seperti orang yang menikah dengan wanita yang sudah dicerai tiga, agar bisa
dinikahi kembali oleh mantan suaminya.
Poin kedua dan ketiga para ulama’ berbeda pendapat.
Menurut ulama’ Hanbali dan Maliki perbuatan di poin kedua dan ketiga tidak
boleh di lakukan, dengan alasan bahwa sesuatu yang mubah harus dilarang jika
membuka jalan ke arah kemaksiatan. Menurut ulama’ Syafii dan Dzahiri perbuatan
di poin kedua dan ketiga boleh di lakukan, mereka beralasan bahwa perbuatan
yang pada asalnya mubah harus di perlakukan mubah tidak bisa menjadi haram
hanya karena ada kemungkinan menjerumuskan kedalam kemaksiatan.[22]
f. Qaul Al- Shahabi
Qaul
Al- Shahabi yaitu pendapat para sahabat tentang hukum suatu kasus sepeninggal
Rasululah saw. Contohnya, kesepakatan para sahabat tentang bagian warisan untuk
nenek seperenam. Pendapat Usman bin Affan tentang gugurnya kewajiban shalat
jum’at apabila bertepatan dengan hari raya, pendapat Ibnu Abbas tentang tidak
diterimanya kesaksian anak kecil.
Para
ulama’ sepakat bahwa pendapat sahabat yang disepakati para sahabat yang lain
bisa dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum karena dianggap
sebagai ijmw’. Sedangkan pendapat sahabat yang berdasarkan kepada
ijtihadd mereka sendiri para ulama’ berbeda pendapat. Menurut sebagian ulama’,
bahwa pendapat sahabat yang seperti itu bisa dijadikan sebagai sumber hukum.
Alasan mereka adalah bahwa pendapat seorang sahabat kemungkinan besar benar dan
sangat kecil kemungkinan salah. Karena mereka yang menyaksikan secara langsung
bagaimana syariat itu diturunkan dan mereka adalah orang-orang yang selalu
bersama dengan Rasulullah sehingga pendapat mereka lebih dekat kepada kebenaran
dari pada pendapat orang lain.
Menurut
sebagian ulama’ yang lain bahwa pendapat sahabat yang seperti itu tidak bisa
dijadikan sebagai sumber hukum. Alasan mereka adalah bahwa kita harus berpegang
kepada al qur’an, hadis dan dalil lain yang mengarah kepada teks al qur’an dan
hadis. Sementara pendapat sahabat tidak termasuk bagian itu. Ijtihadd dengan
akal bisa kemungkinan benar bisa kemungkinan salah, baik itu pendapat sahabat
maupun pendapat lainya. Meskipun bagi sahabat, kemungkinan salah sangatlah
kecil.[23]
g. Syar’u Man Qablana
Syar’u
man qablana atau
syariat umat sebelum kita adalah hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada
umat sebelum Nabi Muhammad yang diturunkan melalui para nabinya seperti seperti
ajaran nabi Musa, Ibrahim, Isa dan nabi-nabi yang lain. Adapun Syar’u man
qablanā terbagi menjadi :[24]
1) Ajaran
umat sebelum kita yang diabadikan di dalam al qur’an atau hadis dan ada dalil
yang menyatakan bahwa syariat itu berlaku untuk kita. Dalam hal ini para ulama’
sepakat bahwa syariat mereka berlaku untuk kita, seperti diwajibkannya berpuasa
2) Ajaran
umat sebelum kita yang diabadikan di dalam al qur’an melalui kisah atau
dijelaskan Rasulullah, tetapi ada dalil yang menyatakan bahwa syariat tersebut
dihapus oleh syariat kita atau Islam. Dalam hal ini para ulama’ sepakat bahwa
syariat mereka tidak berlaku untuk kita, seperti sabda Rasulullah saw:
وَأُحِلَّتْ لِى الغَنَائِمُ ولَمْ تُحَلَّ لِأَحَد قَبْلِى
Artinya: “Dan ghanimah dihalalkan untuk kami,
tidak dihalalkan bagi umat sebelum kami”.
Dari hadis di atas diketahui bahwa ghanimah tidak dihalalkan
untuk umat sebelum rasulullah dan dihalalkan bagi umat Rasulullah saw.
3) Ajaran
syariat umat sebelum kita yang tidak di tetapkan oleh syariat kita, para ulama’
sepakat hal itu bukan syariat bagi kita.
4) Syariat
sebelum kita yang ada di dalam Al Qur’an dan Hadis tetapi tidak ada dalil yang
menyatakan sebagai syariat kita. Dalam hal ini para ulama’ berbeda pendapat.
Menurut sebagaian ulama’ seperti ulama’ Hanafi bahwa hal itu sebagai bagian
dari syariat kita. Mereka beralasan bahwa para ulama’ mewajibkan qisas dengan
berdalil pada surat al maidah ayat 45, yang jelas-jelas itu adalah syariat
untuk bani Israil. Menurut ulama’ Syafii bahwa hal itu bukan syariat bagi kita
sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, mereka beralasan bahwa
syariat kita menghapus syariat sebelum kita.
[1] Lilik Channa dan Syaiful
Hidayat, Ulum Al-Qur’an dan Pembelajarannya, (Surabaya: Kopertais IV
Press, 2012), 7.
[4] Ibid, 59-64.
[9] Ibid, 95-96.
[11] Ibid., 86
[12] Ibid., 86
[13] Ibid. 87-90.
[14] Ibid, 91
[17] Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,
2007), 158.
[18] Ibid, 160-161.
[19] Ibid,78.
[21] Sulaiman Abdullah, Ibid,78.
[24] Ibid, 99.
seneng
BalasHapus